(Sebuah Opera Demokrasi yang Kehilangan Naskahnya)
Oleh: Rizal Tanjung
BEGITU banyak… masker.
Seperti iklan kampanye di baliho,
tersenyum lebar tanpa isi.
Kita kenakan satu, lalu yang lain seperti janji politik yang berlapis,
tak pernah sampai ke dasar.
Lalu, ayo kita lanjutkan.
Seolah itu biasa.
Dan memang… kini sudah biasa.
Menipu.
Dengan santun.
Senyum… yang kita gulung rapi,
diselipkan di balik jas mahal dan retorika,
disimpan di saku sebelah ego—
untuk ditukar saat rapat pleno.
Sementara hidup menawarkan jalan pintas:
suap, sogokan, suara.
Tapi yang terluka?
Bukan hanya nalar.
Melainkan harapan,
yang ditikam dari belakang
oleh tangan yang katanya “wakil rakyat”.
Dalam begitu banyak kesakitan,
kadang, kita hanya ingin… berteriak.
Tapi kita lupa:
kebebasan bersuara kini punya syarat.
Izin.
Dan kalau bisa,
sensor.
Kita bentuk smorfies pose-pose palsu demi likes dan elektabilitas,
senyum tanpa tali,
tatapan kosong penuh strategi.
Sikap sopan—tapi kejam,
saat rasa jijik mencekik…
melihat rakyat diminta tepuk tangan
untuk harga beras yang naik.
Air mata pahit…
kita telan dalam diam.
Sebelum sempat jatuh,
diubah jadi debu—
dari janji-janji pemilu yang hancur lebih cepat
dari waktu edit konten TikTok.
Tipis,
terbawa pergi…
seperti sisa suara oposisi
yang kini ikut koalisi.
Jiwa?
Sudah dijual,
diskon 50% menjelang pilkada.
Kita jahit pembungkus hati,
dengan luka-luka yang tak sembuh—
karena setiap lima tahun,
kita dipaksa memilih
antara dua topeng:
yang tersenyum atau yang tertawa,
padahal keduanya lapar kekuasaan.
Dan kita tumpuk…
emosi demi emosi,
hoaks demi hoaks,
spam janji dalam notifikasi,
debat kusir disulap jadi diskusi—
sementara yang miskin tetap mencatat utang,
yang kaya tetap mencatat laba.
Begitu banyak masker.
Dan kita belajar… berpakaian.
Dengan baik.
Dengan rapi.
Dengan logo partai.
Sebab,
saat hidup menghadiahkan kita
wajah yang tak ingin kita lihat…
kita pilih…
untuk menyembunyikannya.
Atau memilihnya,
lalu pura-pura lupa.
Karena dalam demokrasi hari ini—
kita bukan lagi rakyat,
kita adalah penonton,
dalam sirkus yang kita danai sendiri,
dengan suara…
yang tak lagi berarti. (*)
Padang, 1 Desember 2024