Catatan Satire; Rizal Pandiya
- Sekretaris Satupena Lampung
BELUM tuntas masalah isu ijazah palsu, kini jagat Tanah Air dihebohkan dengan skripsi yang diduga juga palsu. Bukan skripsi tentang nuklir, bukan tentang artificial intelligence, atau tentang ekonomi hijau. Cuma skripsi kehutanan biasa, tapi bisa bikin satu negara heboh dari grup whatsapp alumni sampai meja warung kopi.
Masalahnya bukan karena skripsinya jelek. Tapi karena tak ada yang tahu persis siapa yang menguji, kapan diujinya, dan di mana ijazahnya disimpan. Ini seperti nonton sinetron yang episode akhirnya tiba-tiba hilang scriptnya.
Beberapa tokoh pun muncul, bukan sebagai ilmuwan atau arsiparis, tapi sebagai… detektif font.
Roy Suryo, misalnya, bilang ada kejanggalan. Katanya jenis ketikan berbeda-beda. Lembar pengesahan pakai font kekinian, isi skripsi pakai mesin tik. Yang satu pakai Arial, yang lain Times New Roman, mungkin saking semangatnya, skripsi itu dikerjakan bergantian oleh anak kos dan tukang rental ketik.
Tapi Roy tidak sendiri. Ada juga Amien Rais, Rismon, dr Tiffa, yang kembali ke kampus tua, bukan untuk reuni, tapi demo. Ia dan timnya minta ijazah ditunjukkan secara terbuka. Lengkap dengan spanduk dan yel-yel, seolah yang dicari bukan dokumen pendidikan, tapi susu dari program makan bergizi gratis.
Lucunya, di tengah keramaian ini, muncul nama yang tak biasa di dunia akademik, Hercules Rosario Marshal. Ia bersama gerombolannya datang menemui Jokowi. Katanya, ijazah Jokowi pasti asli. Logikanya sederhana, “Masa iya presiden bisa palsu ijazahnya?”
“Kalau ijazah palsu nggak mungkinlah jadi walikota, jadi gubernur, jadi presiden. Nggak usah kita cari-cari masalah untuk bikin sensasi. Mana mungkin palsu. Pala lu palsu!”
Argumen ini agak mirip orang bilang, “Mana mungkin tukang sate nipu, kan dia langganan RT saya?”
Tapi ya, kita hidup di negeri yang memang punya logika khas. Jika ijazah diragukan, undang tokoh kuat, bukan pihak kampus. Kalau perlu, nanti skripsi dibawa ke pengadilan, hakimnya diminta menganalisis margin dan tanda tangan. Ahli forensik dipanggil buat ngecek bekas staples.
UGM pun akhirnya buka suara. Mereka tunjukkan salinan skripsi Jokowi. Tapi tetap saja, tuntutan tidak berhenti.
“Mana ijazah aslinya?”
“Kenapa KKN-nya enggak jelas?”
“Kenapa nggak ada selfie waktu wisuda?”
Ya, zaman dulu wisuda belum musim selfie. Yang ada cuma foto dengan latar belakang orang rame-rame, yang dibidik fotografer musiman, yang berkeliaran di kampus saat acara wisuda.
Ironis memang. Negeri ini begitu semangat mencari kebenaran dalam satu skripsi, tapi santai saja ketika kasus pagar laut tiba-tiba menghilang, atau kasus judi online menguap. Untuk skripsi, minta verifikasi. Untuk korupsi, cukup klarifikasi.
Barangkali ini semua bukan soal ijazah. Tapi soal rasa tak percaya yang sudah terlalu dalam. Kepercayaan publik makin tipis, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya sederhana, bahwa seorang presiden pasti punya ijazah.
Namun karena semuanya ditutupi dengan cara yang rumit, publik justru makin penasaran. Makin dibela oleh orang yang tak punya kapasitas akademik, publik malah makin curiga.
Kita jadi bangsa yang lebih percaya pada teori ketikan daripada transparansi.
Yang paling repot bukan Jokowi, bukan UGM, bukan Roy Suryo, tapi anak-anak SMA yang bisa saja jadi takut kuliah, karena skripsi ternyata bisa jadi bahan demo nasional dua dekade kemudian.
Entah bagaimana ujung dari kisah ini. Tapi satu hal pasti, skripsi Jokowi telah jadi artefak nasional. Lebih sering dibahas daripada pidatonya sendiri. Dan lebih misterius daripada lokasi harta karun VOC.
Barangkali ke depan, sebelum seseorang mencalonkan diri jadi Presiden, dia akan diminta bukan hanya menyerahkan ijazah, tapi juga membawa fotografer sebagai saksi mata wisuda, tukang fotokopi kampus dan testimoni dari mantan pacar waktu KKN.
Karena di negeri ini, lulus itu penting. Tapi bukti bahwa kamu pernah lulus—itu lebih penting. (*)
Bandarlampung, 16 April 2025
#makdacokpedom