Puisi Esai LK Ara


DI NEGERI kami,

tanda tangan lebih sakti dari mantra dukun tua,

satu goresannya bisa mengubah sawah jadi beton,

menghapus hutan dengan sehelai kertas,

dan menguapkan anggaran seperti kabut pagi di pegunungan.


Para pejabat adalah pesulap,

yang bisa menyulap proyek fiktif jadi vila pribadi,

menyulap banjir jadi berita kecil,

dan menyulap kesalahan jadi prestasi.


Mereka pintar menganyam kata seperti laba-laba,

membuat jaring janji di musim kampanye,

lalu duduk tenang di kursi empuk hasil pungutan debu rakyat.

Dengan senyum seperti brosur,

mereka bicara tentang moral sambil menyimpan kuitansi dosa.


Rakyat menunggu dalam antrian panjang

seperti burung lapar menanti hujan,

tapi para penguasa mengantri juga—

mengantri giliran untuk menyendok ladang madu

yang tak pernah sampai ke meja makan petani.


Ada yang korupsi dana pendidikan,

lalu berdiri di podium sebagai penyuluh literasi.

Ada yang menyunat bantuan bencana,

lalu pura-pura menangis di depan kamera:

air mata dari botol tetes, bukan dari hati.


Gedung-gedung dibangun seperti istana pasir,

indah di proposal, rapuh di kenyataan,

dan runtuh sebelum anak sekolah sempat duduk di dalamnya.

Di dalam maket: ruang baca ber-AC,

di lapangan: genteng bocor, buku-buku lapuk,

dan papan tulis yang sudah lupa warna aslinya.


Ada yang menggali timah seperti menimba emas dari lubuk dosa,

menambang masa depan sambil meruntuhkan bumi.

Hutan-hutan mereka sulap jadi lubang-lubang luka,

lalu menaburkan debu ke mata hukum yang sudah rabun.

Di laut, minyak tumpah seperti darah bangsa,

tapi dibilang angin nakal yang tak tahu aturan.


Mereka pandai memberi nama:

ini bukan suap, ini bentuk “aspirasi”.

Ini bukan mark-up, ini “biaya koordinasi”.

Ini bukan pencurian, hanya “penyesuaian operasional”.


Dan ketika tertangkap tangan,

mereka tak gentar,

sebab jaket oranye kini lebih mirip mantel musim dingin

yang hanya dikenakan sementara sebelum liburan bebas bersyarat.


Anak-anak belajar dari televisi,

bukan dari buku,

tapi dari parade tikus berdasi

yang lihai menari di balik gedung megah berlumut dosa.

Mereka bertanya kepada guru:

“Bu, cita-cita paling cepat kaya itu apa?”

Dan sang guru hanya menunduk,

tak tega mengatakan: “Menjadi pengatur proyek.”


Lama-lama kami pun terbiasa.

Korupsi menjadi seperti musim kemarau:

datang tiap tahun,

disesalkan sebentar,

lalu dilupakan.


Kami menulis sejarah dengan tinta bercampur kecurigaan.

Membangun masa depan

di atas fondasi yang bolong.


Namun kadang muncul juga secercah harapan:

seorang guru jujur yang tak mau dibeli,

seorang petani yang menolak disuap,

seorang anak muda yang bicara meski disuruh diam.


Mereka masih ada,

seperti kunang-kunang di tengah kabut.

Tapi suaranya kalah oleh tepuk tangan pesta korupsi

yang disiarkan langsung ke seluruh negeri.


Maka kami menulis puisi ini

seperti mengukir nama di batu nisan nurani,

agar kelak generasi mendatang tahu—

bahwa kami pernah hidup di negeri

di mana kesalahan disiram parfum,

dan kejujuran dikubur dengan pelan-pelan.


Dan agar suatu hari nanti,

ketika negeri ini benar-benar sekarat,

mereka tak lagi mencari pahlawan bertopi,

tapi menjadi pahlawan itu sendiri. (*)


Kalanareh, April 2025 ‎ ‎




 
Top