Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
PHP dalam judul tulisan ini bukan pemberi harapan palsu, tapi singkatan dari Pendidikan, Harapan dan Pengangguran (PHP).
Dalam dunia pendidikan di negeri ini, ada sebuah kisah paradoks yang mengalun dalam irama takdir dan realita.
Ketika di bangku SD dan SMP, anak-anak semangat mengukir ilmu sejak fajar menyapa, menorehkan dasar-dasar pengetahuan pada sembilan tahun wajib belajar yang telah dijanjikan oleh negara.
Pada tahap ini terpatri cita-cita yang begitu indah akan harapan hidup yang lebih baik.
Di sinilah awal perjalanan, tempat benih-benih pemikiran ditanam guna merealisasikan cita-cita dengan harapan agar kelak tumbuh menjadi pohon pengetahuan yang rindang yang berguna bagi bangsa dan negara.
Namun, di balik janji wajib belajar sembilan tahun itu terselip pertanyaan yang terus menggelayut dalam benak bangsa: ke manakah alur perjalanan ilmu itu berlabuh?
Selepas SMP, dunia pendidikan membuka persimpangan. Ada SMK, di sini mereka diajak menapaki jalan keterampilan, setamat SMK, mereka harus siap menghadapi realitas kerja dengan senjata keterampilan yang diperoleh. Dimanakah pasar kerja itu?
Sementara jika memilih SMA, ia harus bersiap ke jenjang yang lebih tinggi. Di sini ilmu lebih diperdalam mulai strata satu, dua hingga yang paling tinggi strata tiga.
Ironisnya, gelar yang semestinya menandakan puncak keilmuan kerap jadi simbol kekaguman yang tak lagi mudah dimengerti—seperti seorang master dan doktor yang dihormati namun bayang-bayang keraguan; “seken master to, dije man doktor?”
Jangan sebut tamatan SMK, kisah para lulusan, walaupun telah menyandang gelar sarjana, master, bahkan doktor, banyak di antara mereka terjerat dalam realitas pahit; nganggur.
Di satu sisi, mereka digadang sebagai puncak kecerdasan dan kreativitas, namun di sisi lain, banyak di antara mereka menapaki jalan yang tidak linear dengan keilmuan yang ditempa bertahun-tahun akademis itu.
Keraguan kerap muncul ketika ada cerita-cerita konyol; disertasi nyontek skripsi, tesis dan karya ilmiah yang formalitas, dibuatin joki dan sinisme lain yang mengesankan hanya untuk memperpanjang deretan nama saja.
Akhirnya ironi terasa tajam—ilmu yang semestinya menjulang, kini terjepit di antara harapan dan kenyataan, menyisakan luka dalam sistem yang kian retak.
Paradoks makin nyata ketika gelar sarjana, master dan doktor, yang seharusnya menjadi puncak dari keilmuan, kerap dihiasi oleh petuah yang dikaburkan oleh jarak antara dunia teori dan praktik agar terkesan berilmu.
Coba tengok prodi masing-masing kampus; sudahkah berorientasi pasar kerja? Jangan sampai kampus dicap terlalu serius menciptakan pengangguran; memberikan beasiswa dari mulai masuk sampai tamat hingga dapat asrama segala namun pulang-pulang “sing dadi ape?”.
Pertanyaan pun bertebaran: siapa yang bertanggung jawab atas sistem yang telah mencetak gelar tanpa jaminan linieritas karier?
Apakah kebijakan pemberian beasiswa harus kembali harmoni dalam pola link and macth, agar para pendidik tak hanya mengajarkan ilmu, melainkan juga menyiapkan pijakan nyata dalam dunia kerja?
Ataukah, di tengah perubahan zaman, sudah sepatutnya pendidikan mengalun bagai simfoni—tempat teori dan praktik berpadu dalam irama yang utuh, tak lagi menciptakan jurang antara mimpi dan kenyataan? Pola ikatan dinas perlu diperbanyak.
Dalam dunia paradoks ini, kita diajak menyelami realita di mana setiap jenjang ilmu, dari wajib sembilan tahun hingga puncaknya, seolah mengandung ambisi yang tak terhingga, namun terkadang justru berakhir dalam keheningan yang menyisakan resah; pengangguran.
Puisi hidup ini menuntut jawaban, agar setiap langkah di lintasan ilmu tak hanya membawa gelar di atas kertas, melainkan juga menjunjung teguh cita-cita yang mampu mengubah nasib, mendapatkan pekerjaan layak serta menciptakan sinergi antara mimpi dengan dunia yang kian menantang. (*)
Denpasar, 14 April 2025