Drs. H. Makmur, M.Ag
- Wakil Ketua PWNU Lampung
- Kepala Kantor Kemenag Kota Bandarlampung
SETIAP orang yang beriman meyakini bahwa dunia ini bukanlah akhir dari perjalanan hidup. Ada kehidupan setelahnya, yaitu kehidupan abadi yang akan dimulai pada hari kiamat (Yaumul Akhir). Pada hari itu, setiap amal perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Tidak ada satu pun perbuatan yang akan luput dari hisab-Nya, bahkan sekecil apa pun perbuatan tersebut. Semua akan ditampakkan dengan jelas di hadapan kita, baik amal kebaikan maupun keburukan.
Tidak seperti di hadapan manusia atau di depan penyidik yang mungkin masih bisa disembunyikan, di hadapan Allah Swt tidak ada satu pun yang tersembunyi. Segala amal perbuatan kita, baik maupun buruk, akan tampak dengan nyata. Setiap perbuatan akan diperhitungkan secara adil dan sempurna, tanpa ada yang terlewatkan sedikit pun.
Allah berfirman: “Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8).
Di dunia seringkali kita menyaksikan, para hakim seolah paling bijak dalam memberikan hukuman, para pengadil seolah paling adil dalam memutus perkara, para penguasa seolah tak berdosa jika bersalah, cukup bayar para penentu hukum, semua selesai, bahkan para ulama pun terkadang dianggap paling suci, seperti tidak pernah melakukan keburukan. Semua seolah tak ada bukti bahwa mereka berdosa, dan dihadapan manusia semua kesalahan bisa tertutupi.
Lain halnya di akhirat kelak, Allah Swt akan membuka semua buku amal perbuatan manusia. Tidak ada yang bisa yang disembunyikan, yang baik akan ditampakan demikian pula yang buruk akan di perlihatkan. Dan semua akan di tuntut dan di pertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Hal ini mengingatkan kita untuk selalu berhati-hati dalam setiap tindakan, perkataan, dan perbuatan kita. Sebab, setiap yang kita lakukan akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Tiada amal yang terlewatkan, sekecil apa pun itu.
Empat Pertanyaan di Yaumil Akhir
Dalam hadis yang populer, Rasulullah bersabda, “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya empat hal: umurnya untuk apa ia habiskan, jasadnya untuk apakah ia gunakan, ilmunya apakah ia telah amalkan, dan hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan.” (HR. Ibnu Hibban dan At-Tirmidzi).
Pertama, tentang umur yang berkaitan dengan usia atau waktu yang diberikan Allah kepada setiap manusia. Ada yang diberi umur panjang dan ada yang diberi umur singkat. Semua itu akan ditanya dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Untuk apakah kita menggunakan umur yang telah diberikan? Apakah untuk kebaikan atau keburukan? Jadi, bukan terletak pada panjang atau pendeknya waktu hidup, tetapi pada seberapa banyak kita memanfaatkan umur kita untuk kebaikan.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amal perbuatannya, dan seburuk-buruk manusia adalah yang panjang umurnya tapi buruk amal perbuatannya.” Hadis ini menunjukkan bahwa umur yang panjang, jika diisi dengan perbuatan buruk, akan sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Sebaliknya, jika umur yang panjang itu diisi dengan perbuatan baik, maka dia akan memberikan kebaikan dan kemaslahatan bagi dirinya dan orang lain. Rasulullah SAW juga bersabda, “Dan sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Oleh karena itu, kita harus memanfaatkan usia yang panjang yang diberikan Allah kepada kita, karena tidak ada yang tahu kapan usia kita akan berakhir. “Setiap umat mempunyai ajal, jika ajalnya tiba, mereka tidak bisa meminta menunda sedikit pun dan tidak bisa memajukannya.” (QS. Al-A’raf: 34). Ayat ini menjadi pengingat bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara. Maka, sebelum datangnya kematian, kita harus berusaha mengisi umur kita dengan amal yang baik dan bermanfaat.
Kedua, selain umur, manusia juga akan dimintai pertanggungjawaban atas jasadnya—badan yang sehat, tubuh yang kuat, serta anggota tubuh yang berfungsi dengan baik. Semua bagian tubuh yang memiliki peranan penting akan menjadi saksi di hadapan Allah Swt. Mata, telinga, tangan, kaki, bahkan akal dan hati, yang mungkin tidak tampak secara fisik, akan mempertanggungjawabkan bagaimana mereka digunakan.
Apakah tubuh ini dimanfaatkan untuk beribadah kepada Allah, ataukah justru lebih banyak digunakan untuk bermaksiat? Allah telah memberikan peringatan keras bagi mereka yang tidak menggunakan anggota tubuhnya dengan baik.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman: “Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 179).
Ayat ini mengingatkan bahwa anggota tubuh yang diberikan bukan sekadar fasilitas hidup, tetapi juga amanah yang harus digunakan dengan benar. Oleh karenanya, dalam ayat lain Allah menjelaskan bahwa di hari hisab nanti, manusia tidak bisa lagi mengelak atau berbohong, karena anggota tubuhnya sendiri yang akan menjadi saksi. Mulut akan dikunci, sementara tangan dan kaki akan berbicara dan memberi kesaksian atas segala perbuatan yang telah dilakukan. “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berbicara kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin: 65).
Oleh karena itu, sudah seharusnya kita menggunakan badan yang sehat ini untuk kebaikan. Baik pikiran, tenaga, maupun perasaan harus diarahkan untuk hal yang bermanfaat dan diridhai oleh Allah. Jangan sampai tubuh yang seharusnya menjadi sarana ibadah justru menjadi alasan bagi kita untuk mendapatkan azab.
Ketiga, yang akan dihisab adalah tentang ilmu, apakah telah diamalkan? Ilmu adalah anugerah besar dari Allah Swt yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Namun, ilmu bukan sekadar untuk diketahui atau dihafal, melainkan harus diamalkan. Pada hari kiamat, setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban: apakah ilmu yang dimilikinya telah digunakan untuk kebaikan, ataukah hanya disimpan tanpa manfaat? Ilmu yang tidak diamalkan tidak hanya menjadi sia-sia, tetapi juga bisa menjadi hujjah (argumen) yang akan memberatkan di hadapan Allah Swt.
Oleh karena itu, Allah Swt sangat mengecam orang-orang yang memiliki ilmu tetapi tidak mengamalkannya dengan benar. Allah berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, tetapi mereka tidak membawanya (mengamalkannya), adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amat buruklah perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah.” (QS. Al-Jumu’ah: 5).
Ayat ini menggambarkan betapa rendahnya orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya. Ilmu yang hanya menjadi teori tanpa penerapan akan kehilangan keberkahannya, bahkan bisa membawa kesesatan.
Maka, setiap orang yang memiliki ilmu, terutama ilmu agama, harus berusaha mengamalkannya. Jangan sampai ilmu yang seharusnya menjadi jalan menuju surga justru menjadi sebab turunnya azab karena kelalaian dalam menggunakannya. Semoga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang berilmu dan mengamalkannya demi kebaikan dunia dan akhirat.
Keempat adalah tentang harta, dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan. Harta adalah salah satu bentuk ujian dari Allah Swt, dan setiap orang akan ditanya bagaimana ia mengelolanya. Apakah diperoleh dengan cara yang halal atau haram? Apakah digunakan untuk kebaikan atau justru dihambur-hamburkan dalam kemaksiatan?
Dalam hal keduniaan, manusia secara fitrah memiliki kecenderungan untuk mencintai harta dan ingin terus mengumpulkannya. Sifat seperti ini bisa merubah manusia menjadi tamak dan serakah. Sifat tamak inilah yang kerap menjerumuskan manusia untuk menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginan nafsunya. Para koruptor misalnya, mereka melakukan kecurangan dan korupsi bukan karena miskin atau hanya karena ada kesempatan, tetapi karena dorongan sifat tamak yang sudah merasuk ke dalam dirinya. Inilah yang membuat manusia yang tidak bisa bersyukur dan tidak pernah merasa cukup, sehingga walaupun hartanya banyak, tetap tidak mencukupinya.
Rasulullah Swt menggambarkan sifat manusia ini dalam sabdanya: “Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, niscaya ia ingin memiliki dua lembah emas. Dan tidak akan pernah puas mulutnya kecuali dengan tanah (kematian). Namun Allah menerima taubat bagi siapa yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa manusia sering kali tidak pernah merasa cukup dengan harta yang dimilikinya. Namun, Rasulullah SAW mengingatkan bahwa satu-satunya hal yang bisa menghentikan ketamakan manusia adalah kematian. Oleh karena itu, sebelum ajal tiba, seseorang harus menyadari bahwa harta yang dimilikinya hanyalah titipan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Semoga kita bisa mempertanggungjawabkan amal dan perbuatan kita dengan baik. Semoga Allah memberikan kita petunjuk dan kekuatan untuk selalu berada di jalan yang diridhai-Nya. (Wallahu’alam). (*)