Irwan Setiawan
SELAIN Pasa Ateh atau Pasar Atas, di kota wisata Bukittinggi juga terdapat beberapa pasar lain dengan peran tak kalah penting. Salah satunya adalah "Pasa Bawah" atau Pasar Bawah, di mana pasar ini makin berkembang setelah pemajuan Pasa Ateh.
Sama halnya dengan kisah awal berkembangnya pasar di tanah Kurai, sejarah Pasa Bawah ini juga belum dapat diungkap dengan pasti. Namun untuk pengembangan dan penambahan fasilitas, baru terdeteksi setelah era kolonial.
Untuk menuju Pasa Bawah dan Pasa Banto pemerintahan Hindia Belanda membangun Janjang Ampek Puluah (Jenjang 40) dan Janjang Gantuang (Jenjang Gantung).
Janjang Ampek Puluah sendiri dibangun tahun 1908 sewaktu Louis Constant Westenenk menjabat sebagai Asisten Residen Agam. Penamaan janjang ini mengacu kepada 40 orang penghulu di Luhak Agam yang bermufakat untuk membangun janjang ini. Gunanya untuk memudahkan anak nagari dalam menempuh pasar-pasar yang ada di Bukittinggi pada masa itu.
Sebenarnya Janjang Ampek Puluah memiliki lebih dari 40 anak tangga. Bahkan jumlah anak tangga keseluruhan dari anak tangga paling bawah sampai ke anak tangga paling atas adalah 100 anak tangga. Namun, pada bagian paling atas anak tangga ada yang berukuran lebih kecil dan curam sebanyak 40 anak tangga.
Pemerintah Hindia Belanda menghubungkan setiap pasar di Bukittinggi dengan janjang (janjang) demi memudahkan mobilisasi pedagang dan pembeli. Apalagi kontur kota yang berbukit dan berlereng perlu jalur penghubung yang baik. Sehingga banyak jenjang yang dibangun di sekitar wilayah Fort de Kock.
Beberapa nama jenjang lain di sini adalah Janjang Minang, Janjang Pesanggrahan, Janjang Gudang, Janjang Inyiak Syekh Bantamdan lain-lain.
Pembangunan fasilitas jenjang ini umumnya dilakukan dimasa kekuasaan Louis Constant Westenenk
Selain sebagai pasar, Pasa Bawah Bukittinggi awalnya juga berfungsi sebagai terminal atau tempat mangkal bagi pedati-pedati pembawa hasil bumi dan pembawa barang dagangan ke wilayah Fort de Kock.
Hal ini jelas tergambar pada foto Pasar Bawah pada tahun 1925. Dalam foto ini kita dapat melihat bagaimana banyak pedati parkir dan tersusun di lokasi ini.
Bila kita ungkit memori tentang pedati tentu kita bisa membayangkan bagaimana kerbau atau sapi yang menarik pedati dengan roda kayu berlapis besi. Sementara rumah pedati dibuat dari kayu, serta atap dari rumbia, ijuk dan ada juga yang menggunakan seng.
Dari sudut kekinian, para pemilik pedati zaman dulu sama halnya dengan pengusaha ekspedisi atau kargo di zaman ini. Makin banyak pedati yang mereka miliki makin kaya pulalah mereka secara finansial.
Pedagang akan menyewa pedati untuk membawa barang dagangannya ke pusat kota. Namun banyak pula para pemilik pedati yang juga sekaligus pedagang. Mereka membawa barang dagangan dengan pedati menuju Pasa Bawah.
Beberapa bangunan loods di Pasa Bawah seperti loods/los maco (ikan laut), los dagiang (daging), los karambia (kelapa), los lado (cabe), los jualan mudo (sayur-sayuran), dan beberapa loods yang lain.
Rangka bangunan dari besi baja masih bertahan sampai sekarang. Pada bagian atap pun masih banyak atap peninggalan lama, walau sekarang telah ada bangunan tambahan di pasar ini.
Dalam perkembangan berikutnya Pasa Bawah makin ramai oleh pedagang sehingga kondisi ini makin mengangkat nama Fort de Kock sebagai kota penting. Kota pusat ekonomi bagi kolonial di pedalaman Sumatera.
Guna mempermudah akses ke Pasa Bawah maka dibangunlah Janjang Gantuang (Jenjang Gantung). Pembangunannya dilakukan pada masa pemerintahan Controleur
Oud Agam J Caton tahun 1932, yang menghubungkan Pasar Lereng dan Pasar Bawah serta kawasan Aur Tajungkang. Janjang Gantuang merupakan jembatan penyeberangan yang pertama di Indonesia
Payung-payung besar pedagang terkembang di setiap harinya. Deretan pedagang di sepanjang Pasar Lereng menyusun barang dagangan, dan saat makin turun ke bawah maka nampaklah Janjang Gantuang yang mengantarkan pengunjung Bukittinggi ke Pasa Bawah, di mana los-los besar tersusun memanjang dipinggir jalan pasar itu.
Demikianlah penggalan kisah sejarah dari Pasa Bawah, Janjang Ampek Puluah, Janjang Gantuang dan Pasa Aua Tajungkang yang sampai sekarang masih bisa dikunjungi dan dinikmati.
Sebagai sebuah kisah sejarah tentu hal ini harus menjadi memori kolektif yang harus diketahui warga kota dan para pedagang di sana.
Jangan sampai nanti sejarah ini hilang dan dilupakan begitu saja dan ketika ada penikmat atau wisatawan sejarah yang datang dan bertanya kita hanya mampu menjawab “tidak tahu”. (*)
Sumber:
Buku, “Kinantan Melintas Zaman” Sejarah Kebun Binatang Bukittinggi, Egypt Van Andalas, 2023.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Janjang_40
https://katasumbar.com/mengenal-nama-fungsi-dan-sejarah-janjang-di-bukittinggi/