Oleh ReO Fiksiwan


ARON menunjukkan bagaimana ide-ide luhur dapat tergelincir ke dalam tirani “agama sekuler” dan menekankan bagaimana pemikiran politik memiliki tanggung jawab mendalam untuk mengatakan kebenaran tentang realitas sosial dan politik-dalam semua ketidaksempurnaan duniawi dan kompleksitas tragisnya.” — Raymond Aron(1905-1983), The Opium of the Intellectuals(1955).

Pengkhianatan akademis-intelektual bisa terjadi kapan dan di mana saja.

Pasalnya, elit akademisi-intelektual dewasa ini — meski dengan risiko disingkirkan — adalah sekumpulan aktivis yang hadir sebagai oposisi biner dalam sistem sosial dan bersikap sangat kritis pada kemapanan kekuasaan.

Dalam kritik Aron, secara khusus, menganggap bahwa ada bentuk ketidakjujuran intelektual atau kemunafikan yang terjadi pada masanya — di mana beberapa orang sangat kritis terhadap bentuk pemerintahan atau masyarakat tertentu (seperti demokrasi kapitalis) — masih bersikap toleran.

Lebih-lebih, mereka memaafkan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan dalam masyarakat yang mengaku mewujudkan ideologi yang ‘benar’.

Oleh karena itu, ia sangat kritis terhadap apa yang ia anggap sebagai bentuk dogmatisme dan fanatisme intelektual yang berpegang pada kerangka pemikiran yang tetap terlepas dari bukti empiris yang bertentangan dengannya.

Keadaan ini mirip sebuah proses yang menghadirkan penciptaan semacam agama sekuler atau sistem kepercayaan bermasalah.

Karena itu, sembari ngupi(ng) kerasnya gendang ijazah palsu, hal serius ini berdampak sangat signifikan bagi pemberi dan penyandang ijazah palsu sekaligus.

Sementara, resiko para pemberi — institusi dan personal — ijazah palsu dihadapkan pada tuntutan hukum dan pidana sesuai Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pun, akan mengalami kerusakan reputasi dan kredibilitas universitas (The World Higher Education Rankings, 2020) dan dampak negatif pada kualitas pendidikan (OECD, 2019)

Resiko para penyandang ijazah palsu, hilangnya kepercayaan dan reputasi (Journal of Higher Education Policy and Management, 2018) dan konsekuensi hukum dan administratif (Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara).

Bahkan pengaruh negatif pada karir dan kehidupan sosial (International Journal of Educational Development, 2017) akan berlaku sepanjang hayat.

Pemberi dan penyandang ijazah palsu universitas ternama dapat menghadapi resiko yang signifikan, terutama apa yang dikatakan Nussbaum(77) sebagai „the fragility of goodness“(1986).

Oleh karena itu, penting untuk memverifikasi keaslian ijazah dan memastikan bahwa seseorang memiliki kualifikasi yang sesuai dengan posisi dan tanggung jawabnya.

Menurut Prof. Dr. F.B. Hardiman dalam sebuah webinar(4/4/25),“ ijazah palsu dianggap sebagai skandal moral“ karena melibatkan penipuan dan ketidakjujuran.

Beberapa faktor yang merusak integritas pendidikan pada umumnya, meliputi penipuan dan ketidakjujuran. Pemberi dan penyandang ijazah palsu, mereka personil dua kategori moral hazard.

Kedua, perbuatan dan tindakan ijazah palsu dapat merusak reputasi dan kredibilitas seseorang, baik dalam lingkungan kerja maupun dalam masyarakat. Dampaknya, berujung pada karir dan kehidupan sosial seseorang.

Selain itu, pengaruh negatif pada kualitas pendidikan menular pada orang lain yang meragukan keaslian ijazah yang sah.

Dengan kata lain, tindakan ini dapat berdampak pada kepercayaan masyarakat(public trust) terhadap sistem pendidikan secara masif dan terstruktur.

Ketiga, pemberi dan penyandang ijazah palsu dapat memiliki konsekuensi hukum dan administratif, seperti tuntutan hukum dan pidana yang harus lebih dikedepankan sebagai kejahatan mirip korupsi, extra ordinary crime.

Terakhir, pemberi dan penyandang ijazah palsu dapat dianggap sebagai pelanggaran etika dan moralitas yang sangat serius dan akut.

Akhirnya, tindakan sengaja ini berdampak pada kepercayaan dan reputasi seseorang dalam masyarakat. Pengaruhnya pun, ibarat „ngupi(ng)“ adiktif yang sangat merusak secara struktural. (*)





 
Top