Abustan

Pengajar/ Dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Djakarta (UID)


DI TENGAH pergumulan bangsa yang begitu dahsyat menghadapi kasus-kasus kakap korupsi, seperti impor CPO, judi online, pagar laut, perkara timah dan Pertamina. Satu persatu menguak kepermukaan, bukanlah narasi sebagai sukses story pemberantasan korupsi, tetapi justru lebih menguatkan kepada kita bahwa negara dengan ciri dan aneka ragam korupsi adalah watak atau kategori negara lembek (soft state).

Bahkan, sejumlah kasus suap dilembaga peradilan terbongkar. Akhir ini, mafia peradilan merajalela. Dugaan pemberian suap Rp60 miliar kepada Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, tentu saja menambah panjang kasus-kasus korupsi yang melibatkan hakim.

Ironis, hakim yang diharapkan bisa mengadili dan memutus perkara korupsi secara adil, sehingga dengan vonis yang dijatuhkan akan mampu memberikan “efek jera” kepada para pelaku (terdakwa). Namun, ekspektasi ini menjadi absuurd, ketika realitasnya para pengadil menjadi “orkestrasi” untuk mengatur/memperlancar putusan yang meringankan bahkan membebaskan pelaku dari sanksi hukuman. Dengan cara mengatur alur perkara ketiga korporasi raksasa tersebut, yaitu Permata hijau group , Muslim mas group, dan Wimar group. Hasilnya mereka divonis lepas (onslag van alle rechts ver volging).

Putusan ini telah mengguncang kepercayaan publik dan mengikis habis harapan pemberantasan korupsi terhadap integritas hakim dan marwah peradilan di Indonesia. Kini, yang tampak di ruang pengadilan tak lagi menjadi tempat mencari keadilan, tetapi justru menjadi panggung barter kepentingan. Dengan demikian, maka mau tak mau kita sedang menghadapi degradasi moral dan etika dalam penegakan supremasi hukum.

Judicial Corruption

Harapan untuk mewujudkan pemberantasan korupsi dengan mewujudkan kultur hukum yang tegas disertai semangat anti korupsi, ternyata telah sirna. Kenyataan malah menunjukkan potret suram pemberantasan korupsi. Tak perkasanya hukum dan tumbuh suburnya praktek korupsi turut tampil maksimal dalam gambar suram tersebut. inilah “sirine darurat” bahwa pemberantasan korupsi dalam konteks penegakan hukum haruslah lembaga yudikatif menjadi bagian penting pemberantasan korupsi.

Tak dapat dipungkiri, lembaga yudikatif telah menjadi mafia peradilan yang keberadaannya tak kasat mata lagi. Hal itu dapat ditelusuri dari proses penegakan hukum serta putusan-putusan pengadilan yang tidak mengedepankan nilai dan cita hukum.

Kabar terkini, dapat berkaca pada kasus dugaan suap atau gratifikasi yang menjerat empat hakim terkait pengurusan perkara (vonis bebas)putusan bebas. Di mana lembaga peradilan telah menjadi black market (pasar gelap) yang artinya mafia peradilan bukan isapan jempol. Tetapi, mengindikasikan mafia di lembaga yudikatif masih bercokol.

Karena itu, memang dibutuhkan suatu reformasi di tubuh lembaga yudikatif, terutama dalam hal rekrutmen dan pendidikan, serta memperketat sistem pengawasannya. Lebih dari itu, hal menarik juga dikemukakan oleh Ahmad Yani mantan anggota DPR RI komisi 3 di acara bincang di prodcest : Bahwa jika saja hakim menerima suap, maka perlu moratorium Hakim Agung dan Rotasi Hakim.

Kesimpulan yang dapat ditarik, kasus-kasus korupsi dan kejahatan oleh hakim yang terus terjadi ini mengindikasikan fungsi pengawasan internal oleh Mahkamah Agung (MA) dan eksternal oleh Komisi Yudisial (KY) tak berjalan efektif. Tegasnya, masyarakat menaruh keraguan dengan efektivitas pengawasan, pembinaan, dan penindakan terhadap para hakim yang nakal.

Kesejahteraan rakyat

Persepsi buruk masyarakat terhadap masa depan yang lebih baik untuk meraih kesejahteraan semakin menjauh dari harapan. Ketika menyaksikan skandal putusan hakim yang tak mencerminkan “pemihakan” kepada rakyat, tetapi justru putusan itu malah menguntungkan koorporasi. Yang notabene telah melakukan kerusakan sistemik yang mengancam hutan, keberlanjutan (sustinabel ) tata kelola pembangunan lingkungan, dan supremasi hukum itu sendiri.

Fakta ini membuat kita jadi miris. Apalagi jika membandingkan kekayaan sumber daya alam kita yang melimpah, seharusnya menjadi “instrumen modal” yang berasal dari kekayaan alam (natural resources) yang harus dikelola oleh negara dengan tujuan untuk memakmurkan / mensejahterakan rakyat.

Akan tetapi, pengelolaan sumber daya alam (SDA) menjadi paradoks karena justru menjadi “lahan potensial korupsi” yang ada akhir-akhir ini.

Merujuk pada data yang ada, kerugian negara bisa diurai dari tiga sektor yang ada, Pertama : korupsi minyak goreng (CPO). Kejaksaan Agung (Kejagung) juli 2022 menyebutkan kerugian negara mencapai Rp 20 triliun yang terdiri dari kerugian keuangan dan perekonomian negara. Kedua, korupsi timah: Kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga timah 2015 – 2022 diperkirakan mencapai 300 trilyun. Ketiga, korupsi minyak (Pertamina) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak, kejagung mengungkapkan perkiraan kerugian negara mencapai 193, 7 triliun.

Dalam konteks ini, kerugian negara dari tiga sektor sumber daya alam tersebut, menunjukkan betapa kerugian negara yang begitu besar hanya dinikmati oleh segelintir orang. Padahal, seharusnya kekayaan alam itu bisa dinikmati oleh kelompok masyarakat dalam pembangunan.

Dari sini, dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya dari satu sisi untuk mensejahterakan rakyat dapat dilakukan hanya dari potensi sumber daya alam (SDA) yang dimiliki bangsa Indonesia. Tetapi yang menjadi titik krusial sehingga menjadi hambatan untuk mensejahterakan rakyat karena kendala dan tantangan korupsi itu sendiri.

Penulis
Itulah sebabnya, banyak survei menunjukkan bahwa bangsa Indonesia mengalami keterpurukan dan keterbelakangan karena faktor korupsi. Parahnya karena korupsi di Indonesia sudah dilakukan secara berjamaah, sistemik, massif, dan skalanya makin meluas. Pertanyaannya, apakah bangsa kita akan terus dengan pergulatan stigmatisasi negara korupsi ?.

Sampai saat ini, belum jelas kemana arah komitmen seluruh elemen bangsa untuk memberantas korupsi sebagai sesuatu hal yang mutlak. Terutama Political Will pemerintahan baru yaitu Presiden RI ke-8.

Oleh sebab itu, yang perlu dipahami dan di garis bawahi bahwa penegakan hukum yang di ikhtiarkan oleh koruptor yang bersembunyi dibalik kewibawaan lembaga negara hanya akan menyengsarakan rakyat. Karena itu, nafas dan semangat yang harus di jaga adalah peningkatan sistem pengawasan dan profesionalisme penegakan hukum. Dalam nafas yang seiring dan sejalan iru, kehidupan masyarakat Indonesia terbebas dari korupsi, bukan lagi sebuah utopia. Tetapi telah mewujud menjadi negara hukum (rechtstaat) bukan negara korupsi. (*)


Jakarta, 19 April 2025 




 
Top