Elza Peldi Taher
TIAP kali pulang kampung, saya selalu merasa ada yang hilang. Bukan rumah, bukan sawah, bukan pula jalanan yang kini beraspal mulus. Yang hilang justru adalah wajah-wajah orang tua, wajah saudara yang dulu menyambut dengan peluk, wajah kawan kecil yang dulu berlari-lari di lapangan voli atau mandi bersama di batang sungai, wajah para tetua yang dulu duduk di surau menunggu azan magrib. Kini, satu per satu dari mereka telah berpulang. Kawan kawan semasa kecil sebagian besar hidup di rantau.
Kampung, yang dulu riuh dengan canda dan suara beduk, kini lebih sunyi. Suasana itu seperti lukisan tua yang warnanya mulai pudar, tapi maknanya masih menggantung kuat di dinding ingatan. Inilah ironi pulang kampung: kita kembali untuk mencari yang dulu, tapi yang kita temukan justru kenangan akan yang telah pergi. Jadi untuk apa pulang kampung?
Tak diragukan lagi, Minangkabau adalah tanah surga. Pemandangannya memikat jiwa: bukit dan pegunungan membentang luas seperti bentangan sajadah alam, sungai mengalir jernih seperti urat nadi bumi, dan rumah gadang berdiri anggun bak perahu di tengah samudra sejarah. Makanannya lezat, aromanya membangkitkan kerinduan yang mengendap di dada perantau. Masjid dan surau bertebaran di tiap jengkal kampung, menjadi tempat bernaung raga dan jiwa. Tak heran jika banyak orang sulit melupakan kampung halamannya — karena kampung Minang bukan hanya tanah, ia adalah puisi yang hidup.
Kenapa orang Minang nyaris tak pernah lupa kampung halamannya? Mengapa setiap lebaran atau musim libur, ribuan perantau kembali membanjiri kampung, bahkan ketika orang yang mereka cari sudah tiada?
Cendekiawan Minang AA. Navis pernah menulis bahwa orang Minang itu seperti ikan di perantauan, tapi telur dan air matanya tetap ditumpahkan di kampung halaman.
Kampung bukan hanya tempat tinggal, ia adalah identitas. Di kampung, seorang anak Minang belajar apa itu harga diri, semangat merantau, dan tanggung jawab sosial. Kampung bukan sekadar tempat asal, tapi pusat gravitasi yang menarik kembali, meskipun tubuh telah jauh melayang.
Pepatah Minang menyebutkan: “Ayam pulang ke reang, anak pulang ke pangkuan.” Artinya, ke mana pun seseorang pergi, sejauh apa pun merantau, pada akhirnya ia akan kembali juga ke asalnya — baik secara jasmani maupun rohani.
![]() |
Penulis |
Dalam perspektif psikologi, rindu kampung adalah bagian dari mekanisme jiwa untuk mencari akar. Psikolog Ratih Ibrahim menyebutkan bahwa nostalgia terhadap kampung halaman seringkali muncul sebagai respons terhadap tekanan dan kekosongan emosional.
Kampung adalah tempat di mana seseorang merasa paling dimengerti dan diterima. Pulang ke kampung, sejatinya adalah usaha untuk berdamai dengan masa lalu, mengisi ulang batin yang lelah, dan menemukan kembali bagian diri yang tercecer di antara pepohonan dan tanah basah.
Apa yang dicari orang ketika pulang kampung? Jawabannya barangkali sederhana: keutuhan. Orang mencari kembali dirinya yang utuh — yang tidak dicemari hiruk-pikuk kota, yang tidak dibebani target karier, yang tidak diadili oleh kesibukan media sosial.
Di kampung, kita bisa menjadi anak-anak lagi. Kita bisa menjadi diri kita yang paling jujur. Bahkan ketika banyak orang tercinta telah tiada, tempat-tempat itu tetap bicara, tetap menyapa, seakan berkata: “Selamat datang kembali. Kami masih di sini, meski dalam bentuk lain.”
Maka pulang kampung adalah ziarah batin. Ia bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan spiritual ke dalam rahim tanah ibu. Kampung adalah semacam pelabuhan jiwa, tempat perahu yang lelah kembali bersandar. Dan meskipun pelabuhan itu telah sepi, kita tetap ingin kembali. Sebab kampung — meski ditinggal — tak pernah benar-benar pergi dari hati kita. (*)
Pondok Cabe Udik 12 April 2025