Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


DI sebuah sudut sunyi Kalimantan Barat, di antara gemerisik pohon kelapa dan nyanyian angin perbatasan, lahirlah seorang anak lelaki dari rahim seorang ibu yang tak pernah lelah menanam harap di ladang-ladang basah. 

Desa itu bukan nama besar di peta, bukan pula tempat yang biasa disebut-sebut dalam seminar pembangunan. Tapi dari tanah yang sepi itulah, takdir sedang menulis kisah agung tentang seorang anak yang kelak mengoyak batas langit dengan pena dan ilmu.

Namanya Mursidin Syahri. Bagi orang-orang, ia hanyalah anak seorang petani miskin. Tapi dalam dirinya, menyala bara tak bisa dipadamkan oleh kemiskinan, cemoohan, atau kesunyian kampung halaman. 

Ia dibesarkan oleh tanah keras dan langit panas. Tiap pagi menapak jalan berlumpur untuk sekolah, sepatu bukanlah jaminan, dan buku kerap digenggam lebih erat dari bekal makan siang. Di matanya, pendidikan adalah jembatan satu-satunya keluar dari kubangan kemiskinan.

Ia tidak dibesarkan oleh kemudahan, tapi oleh kepercayaan, bahwa siapa pun, dari mana pun, jika ia mau belajar dan bersujud lebih lama dari orang lain, maka semesta akan membukakan jalan.

Lulus SMA bukan akhir dari perjuangan, tapi awal dari pertarungan panjang. Ia meninggalkan kampung halaman dan menuju Pontianak untuk kuliah di STAIN. 

Di sana, ia bukan hanya mahasiswa, tapi pelita kecil yang mulai menyala di tengah gelap. Ia menjadi aktivis, pemikir, pelayan rakyat kecil di forum-forum diskusi, pembakar semangat di lorong-lorong kampus. Ia bersuara saat yang lain diam. Ia berdiri saat yang lain duduk.

Ketika banyak temannya memilih menyerah, Mursidin terus menggenggam pena. Di tengah kekurangan, ia belajar. Di tengah kesibukan, ia terus bergerak. Dalam doanya yang lirih di malam-malam panjang, ia menitipkan satu harapan agar ilmu menjadi jalannya mengangkat derajat keluarga dan desanya.

Setelah menggenggam gelar sarjana, ia menjadi guru. Bukan guru biasa, tapi guru yang menjadikan kelas sebagai taman cita-cita. Ia mengajar bukan hanya dari buku, tapi dari hati. Anak-anak didiknya bukan hanya diajari rumus dan hukum, tapi ditanamkan harapan dan keyakinan bahwa mereka bisa menjadi apa pun. Dari papan tulis yang penuh coretan, lahir benih-benih pemimpin masa depan.

Tuhan melihat kerja kerasnya. Dari guru biasa, ia diangkat menjadi pemimpin. Ia diberi amanah untuk memimpin MAN Insan Cendekia Sambas, madrasah unggulan yang harum namanya hingga ke tingkat nasional. Di tangannya, madrasah itu tidak sekadar menjadi tempat belajar, tapi menjadi mata air ilmu dan karakter. Ia membawa teknologi ke ruang kelas, digitalisasi ke dalam sistem, dan nilai-nilai moral ke dalam setiap kebijakan.

Tapi ia tak berhenti di sana. Dalam usia yang tidak lagi muda, ia kembali kuliah. Magister Ilmu Pendidikan diraihnya di saat memimpin MAN. Belum cukup gelar M.Pd, jiwanya yang haus akan ilmu terus bergolak. Ia kembali menjadi saksi bisu perjuangan, membaca, menulis, meneliti. Ia pergi jauh, meninggalkan keluarga, menempuh perjalanan demi perjalanan untuk menyelesaikan pendidikan doktoralnya di UIN Alauddin Makassar. Pada 9 April 2025, di tengah haru dan tepuk tangan, ia resmi menyandang gelar Doktor.

Disertasinya bukan sembarangan. Ia meneliti tentang nasionalisme dalam pendidikan agama Islam di daerah perbatasan, tema yang menggambarkan siapa dirinya, anak desa yang setia pada tanah airnya. Ia menyentuh nadi bangsa dari pinggiran, membuktikan bahwa cinta Indonesia bukan hanya milik mereka yang tinggal di ibu kota.

Di balik seluruh perjuangan itu, ada seorang istri yang setia menunggu dan tiga anak yang menjadi alasan kenapa ia tak pernah menyerah. Mereka adalah tumpuan air matanya, kekuatan dalam kelelahannya, dan alasan kenapa ia tak pernah berhenti bermimpi.

Mursidin bukan legenda yang lahir dari panggung besar. Ia bukan anak jenderal, bukan pula cucu pejabat. Ia hanya anak petani dari kampung sunyi, yang membuktikan bahwa dengan ilmu, doa, dan tekad baja, manusia bisa menantang langit.

Maka jika hari ini engkau ragu dengan mimpimu, jika engkau merasa kecil karena dilahirkan dari keluarga yang sederhana, atau tinggal di desa yang bahkan tidak dikenal peta, ingatlah nama ini, Mursidin. 

Ia berjalan dari lumpur, tapi kini jejaknya tertulis di langit ilmu. Dunia, pada akhirnya, akan selalu membuka jalan bagi mereka yang tak pernah berhenti melangkah. (*)


#camanewak 




 
Top