Rosadi Jamani
-- Ketua Satupena Kalbar
SEBELUMNYA saya sudah tampilkan sosok Muhammad Arif Nuryanta. Ia disuap dengan uang segunung Rp60 miliar. Tak adil dong kalau pria kelahiran Kulonprogo itu saja diubek-ubek. Siapa yang tukang suap? Sambil seruput kopi liberika, yok kita kupas para penyuap wakil tuhan di bumi!?
Uang Rp60 miliar diduga berasal dari tiga naga besar industri kelapa sawit: Permata Hijau Group, Wilmar Group dan Musim Mas Group. Tiga nama ini bukan nama sembarangan. Mereka adalah raksasa yang bisa membuat sawit meneteskan emas, membuat biodiesel mengalir seperti arus sungai kemakmuran, selama tidak dibelokkan ke arah rakyat kecil.
Kasus bermula saat ketiga perusahaan ini didakwa terlibat dalam manipulasi ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) pada periode Januari 2021 hingga Maret 2022.
Ya, saat rakyat sibuk antre minyak goreng dan emak-emak hampir tawuran di supermarket demi satu liter kemasan. Mereka sedang menyusun skema licin agar bisa ekspor seenaknya. Jaksa Penuntut Umum kemudian datang seperti pahlawan kesiangan dan menuntut denda serta uang pengganti dengan angka fantastis, lebih dari Rp17 triliun. Wilmar dituntut bayar Rp11,8 triliun, Permata Hijau sekitar Rp937 miliar, dan Musim Mas sebesar Rp4,8 triliun. Angka yang kalau dibayarkan, mungkin bisa membangun 500 puskesmas, 2000 sekolah, dan satu jalur MRT sampai ke Mars.
Namun pada 19 Maret 2025, mahkamah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membuat sejarah baru dalam dunia teater hukum. Ketiga perusahaan ini dinyatakan terbukti bersalah, tapi tidak bersalah. Lebih tepatnya, perbuatannya terbukti, tapi bukan tindak pidana. Ini seperti mengatakan seseorang mencuri, tapi bukan pencuri, karena mencurinya dengan gaya elegan dan dasi bermerek. Maka jatuhlah vonis “lepas” alias ontslag. Bukan bebas murni, bukan bersalah, tapi dilepas seperti balon di hari ulang tahun, melayang indah, entah ke mana, sambil membawa sisa keadilan yang tercecer di lantai ruang sidang.
Di balik opera absurdis ini, terciumlah aroma uang. Diduga, Rp60 miliar mengalir lembut ke kantong Muhammad Arif Nuryanta. Tak langsung, tentu. Uang tak sopan kalau datang langsung. Maka ia diantar melalui jalur estafet, panitera muda dan dua pengacara perusahaan yang konon sedang mengasah jurus “sulap dokumen dan pelintir hukum.” Uang itu disebut-sebut sebagai persembahan agar majelis hakim tergerak hati untuk menekan tombol “tidak pidana.”
Seperti biasa, pertanyaan sakral pun muncul, siapa yang menyuap? Apakah direktur utama? CEO? Pemilik perusahaan yang hartanya bisa beli pulau? Tentu tidak, kata para peramal netizen. Paling-paling yang jadi tersangka nanti, staf kebersihan, sopir kantor, atau mungkin satpam yang kebetulan absen waktu diperiksa. Karena di negeri ini, keadilan bukan soal siapa bersalah, tapi siapa yang cukup miskin untuk ditangkap.
Permata Hijau Group, sang eksportir biodiesel. Wilmar Group, si raksasa global dari Singapura yang menjual sawit seperti menjual permen. Musim Mas Group, juara keberlanjutan versi diri sendiri. Ketiganya berdiri di atas panggung industri sawit Indonesia, sambil membawa piagam “pelestari alam” dan dompet berlapis emas. Mereka aktif dalam program CSR, tanam pohon, kampanye hijau, tapi jangan tanya soal etika ekspor, nanti mereka pura-pura lupa.
Kini publik hanya bisa menatap layar, menghela napas, lalu ketawa getir. Drama hukum ini begitu megah, detail, dan hiperrealistik hingga terasa seperti nonton pertunjukan sirkus, dengan hakim sebagai badut agung dan perusahaan sebagai pemain akrobat yang bisa jungkir balikkan UU dengan satu kedipan.
Rakyat? Ah, kita cuma penonton. Dilarang naik panggung. Dilarang protes terlalu keras. Cukup tepuk tangan, meskipun tangan kita sudah kapalan karena sejak lama hanya bisa menggenggam kecewa. (*)
#camanewak