Rosadi Jamani
-- Ketua Satupena Kalbar
INI tulisan saya kedua soal bank daerah. Sebelumnya berjudul “Tragedi Tiga Bank Pembangunan Daerah.” Luar biasa tanggapan netizen. Rame banget. Bahkan, banyak permintaan untuk mengungkap praktik kotor di Bank Jatim, Bank Jateng, dan Bank NTB. Soal tiga bank ini lagi diriset, nanti lanjut di edisi berikutnya. Karena rame, saya lanjutin, ya. Tentu sambil seruput kopi liberika, wak.
Di balik meja marmer dan senyum manis para bankir daerah, tersimpan kemampuan sulap kelas wahid, mengubah uang rakyat menjadi laporan keuangan yang indah. Tapi, penuh tipu daya. Praktik kotor bank daerah bukan cuma desas-desus, tapi realita yang begitu nyata sampai kadang bikin kita heran, ini bank atau panggung sulap?
Mari kita mulai dengan salah satu kesenian paling legendaris, penggelembungan anggaran. Di Bank Kalbar, mereka membeli tanah untuk kantor pusat, tapi dengan harga yang entah bagaimana bisa menembus stratosfer logika. Uangnya miliaran rupiah, tapi tanahnya tetap ada di bumi. Katanya “sesuai prosedur”, tapi prosedurnya mungkin ditulis pakai ilmu perdukunan.
Lalu ada Bank BJB, yang tampaknya lebih peduli pada dunia iklan dari dunia nyata. Mereka menggelontorkan ratusan miliar rupiah untuk pengadaan iklan. Iklannya? Tidak tahu ada di mana. Mungkin disisipkan di momen-momen tak terduga seperti mimpi rakyat tidur siang, atau tersembunyi di balik iklan susu formula. Yang jelas, rakyat tidak pernah melihat iklan itu, tapi uangnya sudah lenyap dengan indahnya.
Sementara itu, Bank DKI memilih jalan spiritual dengan gangguan sistem IT besar-besaran. Saldo hilang? “Sedang pemeliharaan.” Data kacau? “Sedang peningkatan sistem.” Tapi siapa pun yang paham IT tahu, ini bukan error biasa. Ini error yang memberi celah lebar untuk uang menguap, data dimanipulasi, dan laporan keuangan dimake-up sehalus filter Instagram.
Semua ini tidak mungkin terjadi tanpa peran para kepala daerah tercinta. Mereka bukan cuma penonton, tapi juga penentu. Karena, di bank daerah, kepala daerah bisa menunjuk direksi seolah memilih pemain sinetron. Profesionalisme? Nomor sekian. Yang penting loyal dan tahu kapan harus diam.
Salah satu trik klasik bank daerah adalah menyimpan dana terlalu lama dalam deposito jangka panjang. Dengan bunga tinggi, tentu saja. Tapi sayangnya, bunga itu bukan untuk publik, melainkan untuk mereka yang tahu jalur belakang. Ada “kickback”, ada komisi, dan ada “tali kasih” dalam bentuk perjalanan dinas ke Swiss dengan agenda “studi banding cuaca”.
Jangan lupa juga atraksi favorit, potongan kredit ilegal. Nasabah datang berharap dapat pinjaman, tapi begitu cair, dipotong langsung di tempat. Biaya admin, biaya asuransi, biaya silaturahmi, dan entah apa lagi. Nasabah cuma terima 80%, tapi utangnya tetap 100%. Ditambah lagi, nasabah sering dipaksa beli produk bank seperti asuransi gaib dan investasi fiktif, semua dipotong dari dana pinjaman yang belum sempat disentuh.
Tentu saja, laporan keuangan dimanipulasi seolah bank sehat walafiat. Likuiditas terlihat aman, tapi nyatanya uang parkir di deposito, tidak dipakai untuk UMKM, tidak menggerakkan ekonomi lokal, cuma menguntungkan segelintir elit.
Semua praktik ini tidak cuma melukai keuangan negara, tapi juga mencederai rasa percaya rakyat. Tapi anehnya, semua masih jalan seperti biasa. OJK bilang “akan ditindak”, media diam karena dapat jatah iklan, dan rakyat? Rakyat diajak ikut literasi keuangan sambil nonton TikTok edukasi pinjol.
Bank daerah seharusnya jadi penggerak ekonomi lokal, tapi kini lebih mirip ATM pribadi para elite daerah. Kita semua diminta untuk percaya. Percaya bahwa mereka bekerja demi rakyat, meski rakyat sendiri tak pernah merasa dibela.
Kalau ente masih percaya bank daerah bersih, mungkin ente juga percaya unicorn itu nyata. Kalau ente muak, selamat. Itu artinya kamu masih waras. Maaf sedikit mengganggu malam minggunya. (*)
#camanewak