Ciloteh “Catuih Ambuih”


Bagindo Muhammad Ishak Fahmi


DALAM setiap panggung kekuasaan, sorotan bisnis dan pentas kesenian, terdapat dua sikap yang tak kasat mata namun menentukan arah: ego dan confidence. Dua kata yang tampak seirama, namun dalam kedalamannya bertolak belakang. Yang satu menjulang karena ilusi, yang satu tumbuh dari keheningan jiwa.

Ego, dari bahasa Latin “ego”—yang berarti “aku”, lahir dari kehendak untuk diakui, untuk diagungkan, untuk berada di atas segalanya. Ia haus sorak-sorai, candu akan pembenaran. Ego membisikkan bahwa kita harus menang, meski harus menyingkirkan siapa pun yang menghalangi.

Sementara confidence, dari akar Latin “confidere”, yang berarti “keyakinan”, adalah suara lembut dari dalam hati yang tak butuh pengakuan. Ia tak gemar berteriak, tapi ia tahu—ia tahu batas, tahu waktu, dan tahu nilai. Confidence adalah keberanian tanpa keangkuhan, keyakinan tanpa kecemasan, kekuatan tanpa kekerasan.

Napoleon Bonaparte adalah salah satu legenda sejarah yang memperlihatkan batas tipis antara keduanya. Ketika ia mengangkat pedangnya dan menaklukkan Eropa, ia memancarkan confidence seorang pemimpin besar. Namun ketika ia melawan peringatan, menantang musim dingin Rusia, dan membawa 600.000 prajurit ke medan yang membeku, itu bukanlah kepercayaan diri—itu adalah ego yang tak mau mendengar, tak mau mundur, dan akhirnya tak mampu kembali. Hanya 10 persen yang selamat. Selebihnya, dikubur bukan oleh musuh, tapi oleh keangkuhan.

Bandingkan dengan Cristiano Ronaldo, di saat tensi tinggi, di titik finalti yang bisa menjadi penentu sejarah, ia memberikan kesempatan kepada rekannya. Sebuah keputusan yang tidak menampakkan keinginan untuk bersinar sendirian, tapi untuk menang bersama. Itu bukan ego. Itu adalah confidence yang telah matang. Ia tidak perlu membuktikan apa pun—ia sudah menjadi bukti itu sendiri.

Dalam dunia seni pun demikian. Seorang seniman yang hidup dari karyanya bukan dari pujiannya, akan tumbuh dan bertahan. Tapi ketika ego mulai mengambil kuas dari tangan, dan menuntut semua kanvas berbicara tentang “aku”, maka ia perlahan akan kehilangan warna.

Carl Jung, seorang psikolog besar, pernah berkata:

“Until you make the unconscious conscious, it will direct your life and you will call it fate.”

Carl Jung berbicara tentang ketidaksadaran—bagian dari diri kita yang berisi luka lama, dorongan tersembunyi, ego yang belum diolah dan pola-pola perilaku otomatis. Selama kita tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan bertindak, maka hidup kita akan digerakkan olehnya tanpa kita sadari.

Ego, seringkali, adalah bagian tak sadar dari diri kita yang memegang kendali diam-diam. Jika tidak dikenali, ego menuntun langkah kita ke jurang yang kita kira adalah puncak.

Maka, dalam dunia mana pun kita berdiri—politik, bisnis, atau kesenian—jika kita ingin bertahan, berkembang, dan bermakna, peliharalah confidence seperti api yang menghangatkan, bukan ego yang membakar. Karena mereka yang memiliki confidence akan terus melangkah maju, namun mereka yang terikat pada ego, cepat atau lambat, akan terjebak dalam bayangannya sendiri. (*)


Padang, 4/2025




 
Top