Oleh Gunawan Trihantoro

- Sekretaris Komunitas Puisi Esai Provinsi Jawa Tengah


SETIDAKNYA 60.000 anak di Jalur Gaza “berisiko mengalami komplikasi kesehatan serius akibat kekurangan gizi” karena pasokan makanan menyusut di tengah blokade bantuan Israel, menurut Kementerian Kesehatan daerah kantong itu. [1]


Di mana bumi dibelah oleh suara peluru,

di langit yang runtuh menjadi abu,

seorang ibu berbisik pada bayinya yang tak lagi menangis:

“Tidurlah, sayang. Lapar hanyalah mimpi sementara.”


Tapi kau tahu, Nak, di Gaza,

mimpi pun tak punya tempat untuk tumbuh.


Kau tanya mengapa perutmu berbunyi seperti granat yang gagal meledak?

Aku akan menjawab dengan daftar panjang:

blokade, tank, rezim yang mengunyah daging anak-anak seperti permen.


Di rumah sakit yang cahayanya redup oleh genjatan listrik,

seorang dokter menatap timbangan: 4 kilogram untuk anak usia tiga tahun.


Bibirnya pecah-pecah membentuk kata yang tak terdengar:

“Ini bukan kelaparan. Ini pembunuhan bertahap.”


-000-


UNICEF menyebut angka: 60.000¹.

Tapi mari kita urai satu per satu,

Muhammad, 5 tahun, menggigit tanah liat agar perutnya tak melolong.

Aisha, 18 bulan, tulang rusuknya seperti garpu yang patah.


Yusuf, 7 tahun, bertanya pada ibunya:

“Apakah surga punya jatah roti untuk kami?”


Di checkpoint, seorang tentara muda Israel menggenggam foto anaknya sendiri.

Dia tak menjawab ketika komandannya berteriak:

“Tahan bantuan itu! Mereka hanya angka!”


Angka.

Seperti 6.000 anak yang sudah mati²,

seperti 12 jam listrik per minggu,

seperti 10 butir beras untuk lima mulut.


-000-


Untuk dunia yang memalingkan muka:

Kami tak butuh air mata kalian.

Kami butuh tepung.

Butuh susu yang tak tercampur darah.

Butuh sekolah yang bukan kuburan massal.


Seorang jurnalis asing merekam video,

tangan kecil menggapai-gapai di balik tenda pengungsian.


“Tolong,” katanya dalam bahasa Inggris yang patah,

“my stomach is on fire.”


Tapi kamera segera beralih ke narasi diplomatik:

“Kedua belah pihak diharapkan menahan diri…”


-000-


Gaza menulis suratnya dengan tubuh anak-anak.

Setiap tulang yang menjorok adalah huruf,

setiap tangis adalah koma yang tertunda,

dan titiknya?


Titiknya adalah bom yang jatuh tadi malam

di kamp Jabalia,

di mana seorang ayah mengubur anaknya

dengan nisan dari kaleng bekas susu formula.


Akhir kata, untuk kita yang masih punya makanan di piring:

Mereka tak mati karena kurang gizi.

Mereka dibunuh oleh diamnya dunia. (*)


Rumah Kayu Cepu, 9 April 2025


Catatan

[1] Puisi esai ini dibuat dan diinspirasi dari https://www.aljazeera.com/news/2025/4/9/60000-gaza-children-malnourished-as-israels-blockade-continues


¹ Data dari laporan PBB, April 2025: 60.000 anak Gaza mengalami malnutrisi akut akibat blokade Israel.

² Statistik OCHA menunjukkan 6.000 anak tewas sejak Oktober 2023 hingga April 2025.





 
Top