Penulis: Ririe Aiko
Sumber Ilustrasi: lptui.co.id
PERNAHKAH kita merasa otak seperti ‘kosong’ setelah berjam-jam menatap layar ponsel? Seolah-olah isi kepala hanya diisi potongan lagu viral, lelucon absurd atau potret kehidupan orang lain yang sebenarnya tak kita kenal?
Fenomena ini bukan sekadar lelah digital biasa. Ini adalah gejala brain rot, kondisi di mana otak terlalu sering dimanjakan oleh konten ringan sehingga kehilangan ketajaman berpikir.
Istilah brain rot kini akrab di kalangan anak muda, digunakan untuk menggambarkan kondisi saat seseorang merasa “bodoh mendadak” setelah kebanyakan mengonsumsi hiburan digital. Meski terdengar lucu, kondisi ini punya dampak serius terhadap daya pikir dan produktivitas generasi muda. Ketika layar menggantikan buku, dan konten singkat menggantikan esai panjang, kemampuan fokus pun ikut memudar.
Kita hidup di tengah budaya instan, di mana informasi dikemas cepat, dangkal, dan penuh distraksi. Akibatnya, membaca buku menjadi terasa berat. Menulis pun dianggap membosankan. Padahal, kedua aktivitas ini adalah fondasi penting untuk menjaga kesehatan otak dan mempertajam kreativitas. Tanpa keduanya, daya pikir bisa tumpul, dan potensi intelektual pun terhambat.
Membaca bukan hanya kegiatan mengisi waktu luang, melainkan bentuk asupan nutrisi bagi pikiran. Buku mengajak kita menelusuri gagasan, memahami emosi, dan melihat dunia dari berbagai perspektif. Ia menantang otak untuk fokus, menganalisis, dan berpikir kritis, hal yang nyaris hilang dalam budaya scrolling tanpa jeda.
Menulis pun demikian. Menulis mengharuskan kita memilah ide, menyusun logika, dan merangkai kata-kata dengan kesadaran penuh. Ia adalah latihan mental yang melibatkan perasaan, nalar, dan imajinasi secara bersamaan. Bagi anak muda, menulis bukan hanya ekspresi, tapi juga proses menempa cara berpikir yang jernih dan sistematis. Menulis bisa menjadi ruang aman untuk berdialog dengan diri sendiri, sekaligus tempat tumbuhnya gagasan-gagasan besar yang mungkin tak akan muncul di sela-sela swipe konten viral.
Kebiasaan membaca dan menulis adalah bentuk investasi jangka panjang yang seharusnya kembali dibudayakan. Di tengah arus digital yang deras dan sering kali melelahkan, membaca dan menulis adalah pelampung yang bisa menyelamatkan daya pikir kita dari stagnasi intelektual.
Sudah saatnya kita menyeimbangkan konsumsi digital dengan kebiasaan yang lebih sehat secara kognitif. Mengganti satu jam scrolling dengan membaca, atau menuliskan satu paragraf refleksi setiap hari, bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar.
Brain rot bukan takdir generasi digital. Ia adalah alarm yang mengingatkan kita untuk kembali menyuburkan kreativitas, memperkaya isi kepala, dan merawat daya pikir. Karena pada akhirnya, masa depan bukan ditentukan oleh seberapa cepat jempolmu bergerak di layar, tapi oleh seberapa tajam isi pikiranmu saat dunia menantang untuk berpikir lebih dalam.
Generasi muda memiliki potensi besar untuk membawa perubahan, tapi potensi itu perlu dipupuk dengan kebiasaan yang menyehatkan pikiran. Dunia digital boleh jadi ladang peluang, namun tanpa kesadaran dalam memilah konsumsi konten, kita bisa terjebak dalam arus hiburan dangkal yang mengikis kepekaan intelektual. Otak yang lapar tak akan kenyang oleh joged viral atau tren singkat, ia butuh asupan yang bermanfaat seperti pengetahuan, refleksi, dan ruang untuk berpikir dalam.
Membaca dan menulis bukan sekadar kegiatan kuno yang ditinggalkan zaman. Justru di era digital ini, dua aktivitas itu menjadi bentuk perlawanan paling penting untuk menjaga jernihnya nalar dan suburnya imajinasi. Anak muda perlu kembali menjadikan buku sebagai sahabat, dan tulisan sebagai senjata. Karena masa depan tidak dibangun dari joget-joget viral, melainkan dari ide-ide jernih yang lahir di tengah kesunyian halaman demi halaman yang dibaca dan direnungkan. (*)