Oleh: Joko Riyanto

-- Alumnus Fakultas Hukum UNS


KEKERASAN terhadap jurnalis (wartawan) dalam melaksanakan tugas profesinya masih marak. Belum lama ini, jurnalis media Tempo, Francisca Christy Rosana, yang mendapat teror pengiriman kepala babi dan bangkai tikus. dan terbaru jurnalis Banjarbaru yang tewas dibunuh. 

Pada kasus yang terakhir, jurnalis perempuan di Banjarbaru, Kalimantan Selatan (Kalsel), Juwita (23), tewas dibunuh dengan pelaku yang melibatkan anggota TNI Angkatan Laut (AL). Sang jurnalis tewas di Jalan Gunung Kupang, Kabupaten Banjar, Minggu (23/3/2025) dengan sejumlah luka memar di tubuhnya.

Kekerasan terhadap jurnalis bukan kali ini saja. Pada 2024 menurut laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), tercatat ada 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia. Tindakannya meliputi kekerasan fisik, teror, intimidasi, pelarangan liputan, ancaman, serangan digital, perusakan alat hingga pembunuhan.

Pelakunya bisa aparat, pejabat, artis, satpam, dan preman suruhan. Bahkan, pernyataan di media akhir-akhir ini menjadi sebuah kasus pencemaran nama baik. Masih maraknya serangan fisik dan non-fisik terhadap jurnalis, apalagi yang sampai menimbulkan hilangnya nyawa, tidak hanya menyedihkan, tetapi juga memilukan.

Betapa tidak, di era reformasi yang menjunjung tinggi kebebasan memperoleh informasi dan di negara yang mengklaim diri sebagai negara paling demokratis di dunia, tindakan-tindakan premanisme, anarkis, teror, dan tidak bertanggung jawab masih saja menimpa para pekerja pers dalam bekerja.

Ironisnya dalam menyikapi teror kepala babi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi justru berseloroh, “Udah dimasak aja.” Pernyataan tersebut seolah teror terhadap jurnalis hanya sekadar lelucon, padahal hal ini mengancam kebebasan pers dan tindakan kriminal yang serius. Sebab, kerja-kerja jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers).

Pasal 4 ayat (3) UU Pers jelas sekali menegaskan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Pasal 18 ayat (1) UU Pers menegaskan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Jurnalis adalah pilar keempat dari demokrasi sehingga cara-cara teror itu tentu telah mencoreng demokrasi yang tengah dibangun negeri ini

Sangat memprihatinkan, perbuatan menghalangi kegiatan jurnalis, meneror, dan aksi kekerasan terhadap jurnalis masih terus berlangsung di negeri ini. Padahal negara jelas menempatkan aktivitas mencari dan menyampaikan informasi sebagai hak asasi manusia (HAM). Hak ini dijamin oleh UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM  dan UUD 1945.

Tak hanya melanggar prinsip ini, para peneror jurnalis merampas hak masyarakat mendapatkan informasi yang akurat karena terganggunya kerja jurnalistik. 

Daftar panjang jurnalis yang mengalami teror hingga dibunuh saat bertugas dapat menjadi preseden buruk bagi negara kita dalam hal kebebasan pers. 

Kita tentunya tidak ingin negara ini mendapat predikat sebagai negara yang mengekang kebebasan pers.

Dari sekian banyak fenomena makin seringnya kekerasan terhadap jurnalis, disepakati atau tidak, muncul karena beberapa hal:

Pertama, aparat hukum belum memiliki keseriusan dalam mengungkap segala macam bentuk kasus kekerasan terhadap wartawan. Sejumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis jarang sekali diungkap, kalaupun ada yang diproses hukum, sanksi pelaku kekerasan belum menimbulkan efek jera.

Contohnya, kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), yang belum terungkap hingga kini. Jika kasus pembunuhan jurnalis saja diabaikan, apalagi kasus kekerasan terhadap jurnalis lainnya.

Kedua, masih banyak elemen masyarakat yang belum paham bagaimana berkomunikasi dengan pers, bahkan mereka menganggap pers sebagai musuh. Di sinilah, tidak semua pengungkapan atau penyajian berita  itu menyenangkan khalayak. Terkadang ada pihak-pihak tertentu yang merasa terganggu, sebab kerja jurnalis itu menggoyahkan fasilitasnya, jabatannya, pangkatnya, kedudukannya, atau mengganggu arus rezekinya. 

Sekalipun kerja itu didasarkan pada kebenaran dan membongkar keburukan pihak-pihak tertentu. Dalam kaitan menyelamatkan kedudukan atau kehormatannya itu, para pihak tertentu melakukan lagi-lagi tindakan melawan hukum. Mereka melancarkan aksi-aksi kekerasan terhadap kerja jurnalis.

Ketiga, jurnalis sering dibiarkan sendirian tanpa perlindungan berarti dari industri media (pemilik media massa) ketika mengalami tindak kekerasan dan terlibat sengketa hukum dengan pihak tertentu.

Dalam banyak kasus, ketika ada jurnalis yang menjadi korban kekerasan, bukan media tempat jurnalis itu bekerja yang getol memberikan pendampingan, melainkan lembaga seperti LBH Pers atau organisasi wartawan, di antaranya AJI, IJTI dan PWI (Agus Sudibyo, 2012).

Perlu diketahui bahwa jika dalam pemberitaan pers terjadi hal-hal yang dianggap menyimpang dari fakta kebenaran dan merugikan pihak masyarakat atau pihak terkait, maka mereka bisa menggunakan haknya untuk melakukan kontrol dan pengawasan melalui mekanisme hak koreksi dan hak jawab (Pasal 5 Ayat (2) UU Pers) yang secara detail dituangkan dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 9 tentang Pedoman Hak Jawab. Hak jawab digunakan untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan dan media wajib memfasilitasi hak jawab.

Sedangkan hak koreksi untuk membetulkan informasi yang diberitakan pers. Jika masih tidak puas, masyarakat bisa melaporkan media yang bersangkutan ke Dewan Pers, untuk penyelesaian sengketa. Jadi, jika memang ada sanggahan dan sengketa gunakan mekanisme-mekanisme ini.

Penulis 
Maraknya teror hingga pembunuhan terhadap jurnalis harus menjadi perhatian, terutama bagi pemerintah dan penegak hukum. Berdasarkan Pasal 8 UU Pers, pemerintah dan penegak hukum berkewajiban melindungi jurnalis dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya. Pada sisi lain, pers harus diberi kebebasan menjalankan fungsinya, sebagai penyebar informasi, media pendidikan, sosial kontrol, hiburan dll.

Selain itu, di era keterbukaan informasi ini, dibutuhkan keterbukaan semua pihak untuk melindungi pers dan jurnalis itu sendiri. Ketika masyarakat, birokrat, politisi, pejabat, dan juga semua aspek dalam kehidupan di Indonesia ini mau menempatkan pers sebagai sesuatu yang membawa angin segar dan kritik positif, maka sebenarnya kita sendiri sudah melindungi para jurnalis tersebut.

Negara harus hadir dan tergugah menjamin kebebasan pers, bukan malah kepala babi atau bangkai tikus dijadikan lelucon dan pembunuhan jurnalis terus dibiarkan karena ini mejadi pertanda kematian demokrasi. (*)





 
Top