![]() |
Ajudan Kapolri, Ipda Endry Purwa Sefa (Foto: Tangkapan layar video viral) |
Oleh: Junaidi Ismail
- Wartawan Utama Dewan Pers
SEBUAH insiden kekerasan yang melibatkan ajudan Kapolri, Ipda Endry Purwa Sefa, terhadap seorang pewarta foto, Makna Zaezar, di Stasiun Tawang, Kota Semarang Jawa Tengah pada Sabtu, 5 April 2025, telah mencoreng citra institusi kepolisian dan mengingatkan kita akan pentingnya kebebasan pers dalam negara demokrasi.
Insiden tersebut memicu reaksi cepat dari Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan berbagai kalangan, yang menilai bahwa tindakan represif ini harus disikapi dengan serius.
Peristiwa bermula saat Kapolri meninjau arus balik Lebaran, di mana jurnalis bertugas meliput situasi tersebut. Namun, yang terjadi selanjutnya bukanlah situasi profesional yang diharapkan, melainkan ketegangan yang memuncak.
Ajudan Kapolri, bukannya meminta jurnalis untuk mundur dengan cara yang sopan dan terhormat, justru menggunakan kekerasan fisik dengan memukul kepala Makna Zaezar dan mengancam jurnalis lain. Tindakan tersebut jelas melanggar prinsip-prinsip dasar kebebasan pers dan mengundang keprihatinan mendalam.
Di sini, kita dihadapkan pada pertanyaan mendasar: Mengapa tindakan seperti ini bisa terjadi di tengah lembaga yang seharusnya menjaga hukum dan ketertiban? Sebagai institusi penegak hukum, Polri harus menampilkan keteladanan dalam menjalankan tugas, bukan justru menjadi sumber intimidasi dan kekerasan.
Jurnalis, sebagai mitra Polri dalam memberikan informasi kepada publik, berhak mendapatkan perlindungan dan penghormatan, bukan ancaman atau tindakan kekerasan. Kebebasan pers adalah salah satu pilar utama dalam negara demokrasi, yang harus dijaga bersama.
Kompolnas, dalam menanggapi insiden ini, menegaskan bahwa tindakan represif terhadap jurnalis tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mereka menyesalkan kejadian tersebut dan mendorong agar Polda Jawa Tengah melakukan penyelidikan yang adil dan maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun permohonan maaf sudah disampaikan, proses hukum tetap harus dijalankan dengan transparansi. Ini adalah langkah penting untuk memastikan bahwa setiap tindakan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya kebebasan pers, dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Namun, lebih dari sekadar masalah hukum, insiden ini menggugah kita untuk lebih serius melihat peran jurnalis dalam membangun negara yang lebih baik.
Jurnalis bukanlah musuh, melainkan mitra yang membantu masyarakat mendapatkan informasi yang objektif dan tepat waktu. Dalam konteks ini, Polri, sebagai institusi yang diamanahi untuk menjaga keamanan, seharusnya memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang tidak hanya mengatur bagaimana menangani kerumunan atau situasi tegang, tetapi juga bagaimana berinteraksi dengan media secara profesional dan humanis.
Penting bagi kita semua untuk tidak hanya menuntut pertanggungjawaban dari individu yang melakukan pelanggaran, tetapi juga mendorong perubahan budaya di dalam lembaga.
Kepolisian harus mampu membedakan antara tindakan yang diperlukan untuk menjaga ketertiban dan tindakan yang dapat menindas kebebasan individu, termasuk kebebasan pers. Agar kejadian serupa tidak terulang, Polri harus melakukan evaluasi dan pembenahan internal, dengan meningkatkan pelatihan tentang etika hubungan dengan media.
Pada akhirnya, insiden di Semarang ini mengingatkan kita akan pentingnya kolaborasi antara media dan lembaga penegak hukum dalam membangun masyarakat yang lebih terbuka dan demokratis.
Sebagai bangsa, kita harus terus berkomitmen untuk menjaga kebebasan pers sebagai salah satu hak fundamental yang harus dilindungi, baik oleh negara maupun oleh setiap individu yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga keadilan dan kemajuan bersama.
Sebagai masyarakat, kita juga harus terus mendukung jurnalis dalam menjalankan tugasnya dengan bebas dan tanpa takut. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, bahwa keamanan, keadilan, dan kebebasan pers adalah hak yang harus dijaga bersama. (*)