Tri Handoyo
“Misal ada orang sudah menikah puluhan tahun, sudah punya anak dan bahkan cucu, terus ternyata surat nikahnya hilang, menurut kalian?” tanya Romo Semar kepada anak-anaknya, “Pernikahannya masih sah apa tidak?”
“Ya tetap sah, Mo!” jawab mereka serentak.
“Andaikata, kemudian diterbitkan surat nikah baru berdasarkan bukti data, didukung pernyataan penghulu dan saksi yang masih hidup, apa surat nikah baru itu disebut palsu?”
“Ya tidak, Mo!”
“Berarti kalian masih cerdas dan waras!”
“Tapi kenapa ada saja orang yang masih ngotot menuduh ijazahnya palsu, Mo?”
Romo Semar lalu memperbaiki posisi duduknya dan siap memberikan pemaparan panjang lebar. “Simak baik-baik!”
Ada ungkapan bijak kuno yang mengatakan bahwa seorang maling akan mengira semua orang punya niat untuk nyolong.
Sesungguhnya itu adalah cerminan kondisi dalam diri mereka sendiri.
Nah, bisa jadi orang yang menuduh ijazah seorang presiden itu palsu, padahal sudah banyak bukti dan saksi diberikan, bisa jadi itu cerminan dari dalam. Pantulan bahwa mereka sendiri pada dasarnya terbiasa hidup dalam kepalsuan.
Di dalam kehidupan kaum materialis, kepalsuan memang sudah menjadi semacam gaya hidup. Mereka terbiasa mengenakan topeng. Senyum imitasi. Kegembiraan pura-pura. Bersikap manipulatif dan keimanan palsu.
Sesuatu yang palsu tentu butuh upaya keras untuk digencarkan agar bisa didengar masyarakat luas. Butuh diulang-ulang agar nantinya bisa dianggap dan diterima sebagai kebenaran.
Sebaliknya, kebenaran sejati itu berlaku abadi, kendati dalam sunyi. Bening, kendati dalam hening. Itulah kenapa orang yang benar bisa tetap bersikap tenang. Tegar seperti batu karang. (*)