Drs. H. Makmur, M.Ag
- Wakil Ketua PWNU Lampung
SESAAT setelah di bayi’at (dikukuhkan) menjadi khalifah, Abu Bakar Ash-shidiq menyampaikan pidato kepada seluruh masyarakat :
“Wahai manusia! Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku berlaku baik, bantulah aku. Jika aku menyimpang, luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan dusta adalah pengkhianatan.
Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat di sisiku, sampai aku memberikan haknya, insyaAllah. Orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di sisiku, sampai aku mengambil hak (orang lain) darinya, insyaAllah.
Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka. Tidaklah perbuatan keji menyebar dalam suatu kaum, melainkan Allah akan menurunkan musibah kepada mereka.
Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaati aku. Bangkitlah kalian untuk melaksanakan salat, semoga Allah merahmati kalian!”
Pidato ini mencerminkan karakter kepemimpinan yang kuat, terbuka dan religious. Visi yang Demokratis, Jujur, Adil, dalam rangka mewujudkan negara sejahtera, aman nyaman dan religius.
Abu Bakar menegaskan bahwa kepemimpinan bukanlah soal kehormatan pribadi, tetapi amanah yang harus dijalankan dengan kejujuran dan keadilan.
Ia juga menekankan pentingnya kontrol dari rakyat terhadap pemimpin, serta adanya peran masyarakat dalam membangun dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai dasar pemerintahan.
Pidato ini sekaligus menjadi pedoman bagi beliau dalam menjalankan tugas kepemimpinan dan mengemban tanggungjawab tugas tugas kenegaraan yang beliau laksanakan.
Pertama, Kepemimpinan yang demokratis. Kalimat pertama yang beliau ucapkan setelah dibaiat—”Jika aku baik, bantulah aku. Jika aku menyimpang, luruskan aku.”—menunjukkan bahwa seorang pemimpin bukanlah sosok yang kebal kritik, tetapi seseorang yang siap menerima nasihat dan teguran demi kemaslahatan umat.
Inilah hakikat kepemimpinan dalam Islam, yaitu amanah yang harus dijalankan dengan kebijaksanaan dan kejujuran. Kritik yang konstruktif adalah cahaya yang menerangi jalan pemimpin agar tidak tersesat dalam kekuasaan.
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, bahwa setiap umat di minta untuk saling mengingatkan dan saling menasehati dalam kebenaran. “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-‘Asr: 1-3).
Kepemimpinan yang demokratis bukan sekadar memberikan ruang bagi kritik, tetapi juga menjadikan musyawarah sebagai pilar utama dalam mengambil keputusan.
Abu Bakar memahami bahwa kekuasaan bukan milik pribadi, melainkan tanggung jawab besar yang harus dijalankan dengan kebersamaan. Islam mengajarkan prinsip syura (musyawarah) dalam setiap urusan penting, sebagaimana Allah berfirman: “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka.” (QS. Asy-Syura: 38).
Seorang pemimpin sejati tidak merasa paling benar sendiri, tetapi menghargai suara rakyatnya dan mempertimbangkan aspirasi mereka demi keadilan dan kemaslahatan bersama.
Maka, hendaknya setiap pemimpin menjadikan nasihat sebagai pedoman dan menjadikan rakyatnya sebagai cermin yang membantu melihat kekurangan diri. Dengan demikian, keadilan akan tegak, kemakmuran akan terwujud, dan rahmat Allah akan turun kepada sebuah bangsa.
Kedua, kepemimpinan yang jujur adalah pondasi utama dalam membangun kepercayaan publik dan menjamin keberlangsungan sebuah pemerintahan yang adil. Dalam pidatonya, Abu Bakar Ash-Shiddiq menegaskan, “Kejujuran adalah amanah, sedangkan dusta adalah pengkhianatan.” Pernyataan ini bukan sekadar retorika, tetapi prinsip hidup yang beliau jalankan dengan konsisten sepanjang kepemimpinannya. Kejujuran bukan hanya masalah pribadi, melainkan nilai publik yang menentukan kualitas kepemimpinan.
Dalam konteks kenegaraan, kejujuran mencerminkan integritas moral seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang jujur akan berani menyampaikan keadaan sebenarnya kepada rakyatnya, tidak menutupi kegagalan, dan tidak memanipulasi informasi demi keuntungan politik.
Ia juga akan berlaku transparan dalam pengelolaan keuangan negara, dalam pengambilan keputusan, dan dalam berkomunikasi dengan rakyat. Kejujuran adalah dasar dari kebijakan yang dapat dipercaya.
Al-Qur’an memberikan penegasan tentang pentingnya kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, terutama dalam kepemimpinan: “Hai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur (shadiqin).” (QS. At-Taubah: 119).
Ayat ini tidak hanya menyerukan agar kita berkata benar, tetapi juga memerintahkan untuk bersama orang-orang jujur—yakni menjadikan mereka sebagai panutan, termasuk dalam memilih pemimpin. Pemimpin yang jujur adalah pemimpin yang pantas diteladani.
Kejujuran juga erat kaitannya dengan amanah, yaitu tanggung jawab yang diemban oleh seorang pemimpin. Pemimpin yang jujur akan menjalankan amanah kepemimpinan dengan penuh rasa tanggung jawab dan rasa takut kepada Allah. Ia tidak akan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, tidak mengangkat pejabat atas dasar nepotisme, dan tidak berbohong kepada rakyat.
Rasulullah bersabda: “Tidaklah seorang hamba yang diberikan amanah oleh Allah untuk memimpin rakyat, kemudian ia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan baginya surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa beratnya ancaman bagi pemimpin yang berkhianat! Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang jujur bukan sekadar idealisme, tetapi kewajiban yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak. Maka, seorang pemimpin harus menjaga lisannya dari dusta, hatinya dari niat buruk, dan perbuatannya dari penyelewengan.
Dalam realitas kenegaraan, krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemimpin sering kali berakar pada hilangnya kejujuran. Ketika rakyat tidak lagi percaya kepada ucapannya, maka sekuat apa pun pemerintah berdiri, ia akan rapuh dari dalam. Karena itu, kejujuran bukan hanya nilai moral, tetapi juga strategi kepemimpinan yang menentukan keberlangsungan negara. Dalam masyarakat yang dipimpin oleh pemimpin yang jujur, rakyat merasa aman, tenteram, dan percaya bahwa hak-hak mereka dilindungi.
Ketiga, Kepemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang tidak berpihak kecuali kepada kebenaran. Abu Bakar Ash-Shiddiq menegaskan prinsip ini dalam ucapannya: “Orang yang lemah di antara kalian adalah kuat di sisiku, sampai aku memberikan haknya, insyaAllah.
Orang yang kuat di antara kalian adalah lemah di sisiku, sampai aku mengambil hak (orang lain) darinya, insyaAllah.” Ini adalah komitmen yang kokoh bahwa hukum harus ditegakkan dengan adil, tanpa memandang status, kedudukan, atau kekayaan. Yang lemah akan dibela jika ia benar, dan yang kuat pun tidak akan kebal dari hukuman jika ia bersalah.
Begitulah wajah keadilan dalam Islam, yang menempatkan kebenaran di atas segala kepentingan duniawi. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa: 135).
Keadilan adalah fondasi utama dalam membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Tidak ada bangsa yang akan tegak jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sejarah telah mencatat bagaimana umat-umat terdahulu hancur karena mereka membeda-bedakan hukum antara si miskin dan si kaya, antara yang berkuasa dan yang lemah. Rasulullah memperingatkan dengan tegas: “Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kalian adalah karena jika ada orang terpandang yang mencuri, mereka membiarkannya.
Namun, jika yang mencuri itu orang lemah, mereka menegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Betapa agungnya prinsip keadilan dalam Islam! Tidak ada hak istimewa bagi siapa pun di hadapan hukum. Seorang pemimpin harus menjadi benteng yang melindungi hak-hak rakyatnya, bukan pagar yang melindungi kepentingan segelintir orang.
Jika keadilan ditegakkan dengan jujur, maka kepercayaan rakyat akan tumbuh, kehidupan akan tenteram, dan negeri akan diberkahi oleh Allah. Maka, barang siapa yang memegang amanah kepemimpinan, hendaknya ia menegakkan keadilan dengan penuh ketulusan, karena di hari akhir nanti, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap keputusan yang diambilnya.
Keeempat, Partisipasi seluruh masyarakat dalam membangun bangsa adalah kunci kejayaan suatu peradaban. Abu Bakar Ash-Shiddiq mengingatkan dalam ucapannya: “Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah, melainkan Allah akan menimpakan kehinaan kepada mereka.” Jihad dalam maknanya yang luas bukan hanya perang di medan laga, tetapi juga perjuangan dalam menegakkan keadilan, memberantas kebodohan, menghapus kemiskinan, dan membangun peradaban yang bermartabat.
Sebuah bangsa tidak akan maju jika rakyatnya berpangku tangan, menyerahkan seluruh beban kepada pemimpinnya, sementara mereka sendiri enggan berkontribusi. Partisipasi aktif dari setiap elemen masyarakat adalah ruh yang menggerakkan roda kemajuan.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Perubahan dan kemajuan tidak datang dengan sendirinya, tetapi lahir dari kerja keras, pengorbanan, dan persatuan. Setiap individu memiliki peran dalam membangun bangsanya—pemimpin dengan kebijaksanaannya, ulama dengan ilmunya, pedagang dengan kejujurannya, petani dengan ketekunannya, dan para pemuda dengan semangat serta inovasinya.
Jika seluruh masyarakat bergerak bersama, maka cita-cita besar akan menjadi kenyataan. Sebaliknya, jika mereka acuh dan hanya menjadi penonton, maka kemunduran adalah keniscayaan. Rasulullah bersabda: “Barang siapa di pagi hari tidak memikirkan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan bagian dari mereka.” (HR. Thabrani).
Oleh karena itu, setiap individu harus merasa memiliki tanggung jawab terhadap kemajuan bangsanya. Kepemimpinan yang baik saja tidak cukup tanpa dukungan rakyat yang aktif dan peduli. Jika masyarakat dan pemimpin bersatu dalam kebaikan, bekerja bersama dengan keikhlasan, serta saling bahu-membahu dalam membangun negeri, maka keberkahan dan kejayaan akan menjadi milik mereka.
Sebuah bangsa yang besar bukan hanya karena pemimpinnya yang hebat, tetapi juga karena rakyatnya yang sadar akan peran dan tanggung jawab mereka dalam membangun masa depan yang gemilang.
Kelima, Keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin sejatinya ditentukan oleh rakyat yang dipimpinnya. Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan penuh ketegasan berkata, “Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika aku mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaati aku.” Ucapan ini menunjukkan bahwa ketaatan rakyat kepada pemimpin bukanlah ketaatan buta, melainkan bersyarat: selama pemimpin berjalan di atas kebenaran dan keadilan, ia berhak ditaati.
Namun, jika ia menyimpang, mengkhianati amanah, dan melanggar aturan, maka rakyat tidak berkewajiban lagi untuk mengikutinya. Kepemimpinan bukan sekadar posisi yang diwarisi atau dipertahankan dengan kekuatan, tetapi sebuah amanah yang keberlangsungannya bergantung pada sejauh mana pemimpin menegakkan keadilan dan kebenaran. Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa: 59).
Seorang pemimpin yang bijak tidak hanya mengandalkan kekuasaan, tetapi juga memastikan dirinya tetap berada dalam koridor kebenaran. Jika ia adil, amanah, dan bekerja demi kesejahteraan rakyat, maka rakyat akan mendukungnya dan memberikan kepercayaan kepadanya.
Namun, jika ia zalim, korup dan mengabaikan kepentingan rakyat, maka kehormatan kepemimpinannya akan runtuh dengan sendirinya. Sejarah telah membuktikan bahwa para pemimpin yang bertindak sewenang-wenang, menindas rakyat, dan menjauh dari nilai-nilai kebenaran pada akhirnya akan dijatuhkan oleh rakyat yang sadar akan hak-haknya.
Rasulullah bersabda: “Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian. Dan pemimpin kalian yang terburuk adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.” (HR. Muslim).
Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mendapatkan tempat di hati rakyatnya karena kebaikan dan keadilannya, bukan karena kekuasaan dan ketakutan yang ditanamkannya. Sebaliknya, pemimpin yang gagal akan ditinggalkan oleh rakyatnya karena kesewenang-wenangannya.
Oleh karena itu, siapa pun yang mengemban amanah kepemimpinan hendaknya selalu bercermin pada rakyatnya—apakah mereka mencintainya karena keadilannya, atau membencinya karena kezalimannya.
Sebab, suara rakyat bukan hanya sekadar suara dunia, tetapi juga bisa menjadi cerminan ridha atau murka Allah terhadap kepemimpinan yang dijalankan.
Keenam, Kepemimpinan yang religius adalah kepemimpinan yang menjadikan nilai-nilai ketuhanan dan akhlak sebagai pondasi utama dalam membangun bangsa. Abu Bakar Ash-Shiddiq menutup pidatonya dengan seruan penuh makna: “Bangkitlah kalian untuk melaksanakan salat, semoga Allah merahmati kalian!” Ini bukan sekadar ajakan ibadah, tetapi sebuah pesan mendalam bahwa kepemimpinan yang baik harus berlandaskan spiritualitas yang kuat.
Pemimpin yang dekat dengan Allah akan selalu merasa diawasi dalam setiap keputusannya, sehingga ia tidak akan tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan.
Revolusi akhlak adalah kunci utama dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas, karena ketika akhlak telah tertanam dalam jiwa individu, maka segala bentuk penyimpangan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme akan sirna dengan sendirinya.
Allah berfirman: “Sesungguhnya salat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (QS. Al-‘Ankabut: 45) Pembangunan suatu bangsa tidak hanya bergantung pada kecerdasan dan keterampilan, tetapi juga pada kualitas moral dan spiritual masyarakatnya.
Sebuah pemerintahan akan hancur jika para pemimpinnya kehilangan rasa takut kepada Allah dan mengutamakan hawa nafsu duniawi. Sebaliknya, ketika para pemimpin dan rakyatnya memiliki kesadaran religius yang tinggi, mereka akan menjadikan amanah sebagai ibadah, kejujuran sebagai prinsip, dan keadilan sebagai tujuan. Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Inilah misi besar yang harus diusung oleh setiap pemimpin: membangun peradaban yang berlandaskan akhlak dan nilai-nilai agama. Jika revolusi akhlak benar-benar ditegakkan, maka lahirlah pemimpin yang adil, pejabat yang amanah, dan rakyat yang bertanggung jawab.
Tidak akan ada lagi kezaliman, penindasan, dan ketimpangan sosial. Maka, siapa pun yang mengemban amanah kepemimpinan hendaknya menjadikan agama sebagai cahaya yang menerangi jalannya. Sebab, kepemimpinan yang berlandaskan ketakwaan tidak hanya akan membawa keberkahan di dunia, tetapi juga keselamatan di akhirat.
Semoga para pemimpin kita bisa mewujudkan visi misinya dalam membangun bangsa dan negara, menjadi baldatun thoibatun warobbun ghofur… (wallau’alam)