Rosadi Jamani

- Ketua Satupena Kalbar


JOKOWI mungkin manas juga kali. “Malar jak diserang isu ijazah palsu,” kata budak Pontianak. Ia pun keluarkan ijazahnya di hadapan wartawan. Cuma, tak boleh difoto. 

Sambil seruput kopi liberika di teras rumah, mari kita ulas aksi Pakde menjawab para pembencinya.

Di suatu Rabu yang suci. Saat matahari Solo bersinar seterik wacana, tibalah segerombolan jurnalis ke kediaman mantan Sang Presiden. Bukan untuk wawancara atau menanyakan mau berdamai dengan Megawati, melainkan untuk melihat… ijazah.

Bukan menyentuh. Bukan meminjam. Bukan juga menggandakan. Tapi melihat. Dengan syarat sakral dari Sang Mantan, tidak boleh difoto. Titik.

Masuklah para wartawan itu ke rumah ayah Gibran layaknya para peziarah ke makam keramat. Tapi sebelum bertemu sang empu ijazah, mereka harus melewati prosesi sakral, menyerahkan tas dan ponsel, relik zaman modern yang dianggap bisa mengganggu aura kesakralan kertas bergaris dan stempel basah.

Suami Iriana ini duduk di ruang tamu. Santai. Tenang. Sepatu tetap menempel, seolah siap berlari kapan pun ijazahnya dikatakan “kurang kredibel”. Lalu beliau masuk, bukan ke dalam perenungan, tapi ke dalam rumah, dan kembali membawa dua stopmap. Satu berwarna gelap, satu biru dongker. Kombinasi warna yang lebih simbolis dari bendera negara manapun.

Ijazah pun ditunjukkan. Satu per satu. SD. SMP. SMA, dan UGM. Ucapannya sederhana namun mengandung makna metafisik, “Jangan difoto ya!” Sebuah kalimat yang mampu melumpuhkan puluhan kamera dan mikrofon, seakan kata-kata itu terucap oleh Nabi yang sedang menurunkan perintah Tuhan.

Para jurnalis hanya bisa menatap, mencatat dalam hati, mengabadikan momen dalam retina, bukan dalam memori card. Mereka menjadi saksi mata, bukan saksi digital.

Ijazah SMA tertulis SMAN 6 Surakarta, bukan lagi SMPP, seperti yang dulu disoal. Sebuah transfigurasi nomenklatur yang mungkin hanya bisa dijelaskan oleh nabi atau notaris. 

Sedangkan ijazah UGM disimpan dalam map tua bertuliskan “UGM” Tak ubahnya kitab suci di dalam sampul plastik, suci tak tersentuh, sah tapi tak boleh difotokopi.

Jokowi menjelaskan, map UGM itu asli. Sedangkan map SD sampai SMA? Hanya reinkarnasi dari folder-folder biasa. Tapi siapa peduli map-nya palsu kalau isinya asli? Atau… sebaliknya?

Bila ada yang masih tak percaya, beliau bersabda bahwa ijazah akan dipublikasikan bila diminta oleh pengadilan. Sebab kebenaran, rupanya, hanya akan keluar jika disumpah dan dicatat di Berita Acara Pemeriksaan.

Ijazah itu, kini, menjadi artefak kebangsaan, lebih keramat dari naskah Proklamasi, lebih misterius dari naskah asli G30S, lebih sulit diakses dari dokumen Pentagon. Ia telah dilihat, tapi tak boleh diabadikan. Seperti penampakan UFO. Seperti hantu gentayangan. Seperti cinta pertama, ada, tapi tak ada buktinya.

Dalam dunia di mana satu centang biru lebih dipercaya dari satu meter ijazah, mantan Presiden kita mengajarkan sesuatu yang agung, kebenaran tak perlu dibuktikan, cukup ditatap, dalam sunyi, tanpa jepretan.

Para wartawan itu pun keluar dari rumah, dengan tangan hampa, tapi dada penuh. Mereka telah melihat sesuatu yang orang lain hanya bisa impikan.

Ijazah.

Yang Tak Boleh Difoto.

Di situlah letak keniscayaan republik ini. Kita mempercayai tanpa bukti, kita membela tanpa melihat dan kita menertawakan logika sambil duduk di bawah pohon rindang demokrasi yang daunnya sudah mulai gugur.


Salam Map Biru Dongker. (*)


#camanewak 





 
Top