Tatang Mulyana Sinaga


Penyelesaian kasus kekerasan terhadap wartawan tak boleh berhenti hanya dengan permintaan maaf. Impunitas terhadap pelakunya akan melanggengkan kekerasan serupa.


KEKERASAN terhadap wartawan di Indonesia terus terjadi. Ironisnya, banyak kasus yang hanya berujung pada permintaan maaf. Hal ini sangat berpotensi melanggengkan impunitas terhadap pelaku kekerasan sehingga berbahaya bagi masa depan kebebasan pers.

Menormalisasi kekerasan terhadap wartawan memiliki dampak yang tidak main-main. Selain karena tidak memberikan efek jera, hal ini memberikan gangguan serius bagi kerja jurnalistik. Alhasil, upaya jurnalis dalam memenuhi hak warga atas informasi menjadi terhambat.

Akhir-akhir ini, permintaan maaf menjadi tren dalam “menyelesaikan” kasus kekerasan terhadap jurnalis. Padahal, ada konsekuensi hukum yang mengaturnya.

Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, misalnya, menyebutkan, setiap orang yang menghambat atau menghalangi wartawan melaksanakan tugas jurnalistik dapat dipidana dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Kasus kekerasan yang mencuat belakangan ini adalah pemukulan terhadap jurnalis foto Perum Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, Makna Zaezar, di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (5/4/2025). Pelakunya adalah Inspektur Dua Endri Purwa Sefa yang merupakan pengawal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Endri telah meminta maaf atas kejadian itu. Namun, permintaan maaf ini diharapkan tidak menggugurkan pelanggaran etik dan potensi tindakan pidana pada kasus tersebut.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa Layong menyebutkan, komunitas pers harus bersikap tegas pada setiap bentuk kekerasan terhadap wartawan dan tidak menormalisasinya.

“ Media dan jurnalis memiliki peran untuk terus mengawal penegakan hukum (kasus kekerasan terhadap wartawan) yang lambat dan bahkan mandek. Kita harus mendorong adanya mekanisme penegakan hukum yang transparan dan profesional,” ujarnya, Selasa (8/4/2025).

Banyak jurnalis di Indonesia enggan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya. Bentuk kekerasannya beragam, mulai dari kekerasan fisik, intimidasi, pelarangan liputan, teror, hingga serangan digital.

Menormalisasi kekerasan terhadap wartawan memiliki dampak yang tidak main-main. Selain karena tidak memberikan efek jera, hal ini memberikan gangguan serius bagi kerja-kerja jurnalistik. Alhasil, upaya jurnalis dalam memenuhi hak warga atas informasi menjadi terhambat.

“Salah satu faktornya adalah karena banyaknya kasus impunitas. Saat melakukan pengaduan, sering kali laporan tidak diterima atau tidak ditindaklanjuti,” ucapnya.

Memperparah siklus kekerasan

Tindakan hukum bagi pelaku kekerasan terhadap wartawan sangat penting. Tidak adanya sanksi hukum hanya akan membuka ruang bagi tindak kekerasan serupa. Kondisi ini memperparah siklus kekerasan yang berbahaya bagi kebebasan pers.

Berulangnya kasus kekerasan terhadap wartawan mengindikasikan minimnya efek jera dari penyelesaian kasus selama ini. Sanksi berupa teguran atau sekadar permintaan maaf tidak cukup efektif.

Catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyebutkan, polisi menjadi pihak yang paling banyak melakukan kekerasan atau serangan terhadap jurnalis. Dari 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada 2024, 19 kasus (26 persen) di antaranya dilakukan polisi. Sementara 11 kasus (15 persen) dilakukan personel TNI.

Pada kasus kekerasan yang dialami Makna Zaezar, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Jateng Komisaris Besar Artanto mengatakan, Polri menyesalkan insiden tersebut. Menurut dia, kekerasan yang dilakukan Endri seharusnya tidak perlu terjadi dan bisa dihindari.

“Kami dari kepolisian akan menyelidiki insiden ini dan apabila ditemukan pelanggaran, kami tidak akan segan memberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Kita berharap insiden ini tidak berulang kembali serta kemitraan Polri dan pers tetap terjaga dan harmonis,” ujar Artanto.

Makna menyebut dirinya telah memaafkan Endri. Namun, ia tetap berharap agar Endri mendapatkan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sekretaris Jenderal AJI Indonesia Bayu Wardhana mengatakan, kekerasan terhadap wartawan tak boleh dinormalisasi. Ia menyayangkan jika perusahaan pers atau jurnalis hanya memilih jalan berdamai dengan pelaku kekerasan.

“Kami mendorong agar kasus kekerasan itu dilaporkan secara hukum supaya ada efek jera. Efek jera ini penting agar kekerasan tidak berulang. Kalau selesai dengan permintaan maaf, ini memberikan pesan untuk tidak takut melakukan tindakan kekerasan,” jelasnya. (*)







 
Top