Penulis: Ririe Aiko


BELAKANGAN ini, terjadi fenomena menarik di banyak kota besar: toko-toko emas kehabisan stok. Bukan karena pasokan yang terganggu, tetapi karena lonjakan pembelian yang luar biasa.

Masyarakat berbondong-bondong membeli emas, seolah emas adalah tiket pasti menuju masa depan yang sejahtera. 

Di media sosial, muncul unggahan-unggahan yang memamerkan keping-keping emas batangan, menambah semarak tren ini. FOMO (Fear of Missing Out) atau "rasa takut ketinggalan tren" kembali beraksi, kali ini dalam wujud investasi logam mulia.

Tak dapat disangkal, emas memang memiliki daya tarik tersendiri. Ia dikenal sebagai aset lindung nilai (safe haven) yang kerap menjadi pelarian ketika ekonomi tidak pasti. Harga emas cenderung stabil, bahkan naik saat krisis melanda. Maka, tidak heran jika banyak orang memandangnya sebagai investasi jangka panjang yang menjanjikan. Tapi, apakah semua orang benar-benar berada dalam posisi yang tepat untuk mengikuti tren ini?

Sayangnya, tidak. Di balik euforia pembelian emas, ada lapisan masyarakat lain yang sedang berjuang untuk bertahan hidup. Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat banyaknya perusahaan besar yang kolaps, sebagian warga justru sibuk menghitung sisa gaji terakhir. Sementara satu kelompok menumpuk logam mulia di laci-laci rumah, kelompok lainnya berupaya menyambung hidup dari recehan yang dikumpulkan di jalanan. Ironi ini mencerminkan kesenjangan sosial yang kian nyata.

Fenomena FOMO dalam berinvestasi menjadi kurang bijak jika dilakukan tanpa perhitungan yang matang. Terlebih bagi mereka yang kondisi keuangannya belum stabil. Investasi idealnya dilakukan ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi dan dana darurat tersedia. Ikut-ikutan membeli emas dengan harapan bisa ikut “untung” tanpa strategi dan kesiapan justru bisa menjadi bumerang, apalagi jika dilakukan dengan cara berutang atau mengorbankan kebutuhan primer.

Lebih dari sekadar tren, tingginya minat masyarakat terhadap emas juga menjadi cermin dari minimnya literasi keuangan di negeri ini. Banyak orang belum mampu membedakan antara kebutuhan dan keinginan, antara investasi dan spekulasi. Di sisi lain, ini juga menjadi pengingat bahwa kesejahteraan belum terdistribusi secara adil. Negara yang kaya akan sumber daya alam ini nyatanya belum mampu memberikan rasa aman ekonomi kepada seluruh warganya.

Ketika sebagian kecil masyarakat bisa membeli emas berkilo-kilo, sebagian besar lainnya masih berjuang untuk sekadar bertahan. Maka sebelum ikut tren apapun, termasuk membeli emas, ada baiknya kita bertanya: apakah ini kebutuhan, atau hanya karena takut ketinggalan? Investasi terbaik adalah yang sesuai dengan kemampuan, bukan yang mengikuti arus tanpa arah. (*)



 
Top