Penulis: Ririe Aiko


FENOMENA “ganti menteri, ganti kurikulum” telah menjadi pola yang nyaris lumrah dalam sistem pendidikan Indonesia. Setiap pergantian kepemimpinan di Kementerian Pendidikan seolah membawa semangat revolusi kurikulum yang, alih-alih menjawab persoalan mendasar, justru menyisakan kebingungan dan ketidaksiapan di lapangan. 

Siklus adaptasi yang tak kunjung usai ini menggerus energi para guru dan peserta didik, menciptakan ruang kelas yang lebih sibuk mengejar pemahaman teknis daripada substansi pembelajaran yang bermakna.

Pertanyaannya sederhana namun krusial: jika kita terus menerus berada dalam fase adaptasi, kapan kita bisa merealisasikan kurikulum yang berbasis pada stabilitas dan keberlanjutan pendidikan?

Sudah saatnya Indonesia bercermin pada sistem pendidikan negara-negara maju seperti Jepang dan Swedia. Dua negara ini dikenal dengan stabilitas kurikulumnya, yang tidak berubah setiap kali menteri baru menjabat. Mereka memegang teguh prinsip bahwa pendidikan bukan laboratorium kebijakan politik, melainkan proses jangka panjang yang menuntut konsistensi, evaluasi mendalam, serta keterlibatan aktif para pendidik dan pemangku kepentingan.

Di Jepang, kurikulum nasional ditetapkan oleh MEXT (Ministry of Education, Culture, Sports, Science and Technology) dan hanya direvisi setiap sepuluh tahun sekali. Revisi tersebut dilakukan melalui proses panjang berbasis riset dan melibatkan akademisi, guru, serta masyarakat. Fokus utama pendidikan Jepang terletak pada penguatan karakter, literasi dasar, kedisiplinan dan tanggung jawab sosial, nilai-nilai yang diajarkan secara konsisten lintas generasi.

Sementara itu, Swedia menerapkan kurikulum nasional Läroplan yang terakhir diperbarui secara menyeluruh pada tahun 2011, dengan penyempurnaan minor yang dilakukan secara berkala berdasarkan hasil evaluasi. Kurikulumnya berbasis kompetensi dan menekankan pada berpikir kritis, kemandirian, inklusivitas, serta kesejahteraan siswa. Guru di Swedia juga diberi otonomi tinggi dalam menentukan metode pengajaran, sehingga mereka lebih fokus pada proses pembelajaran yang kontekstual dan bermakna.

Indonesia, sayangnya, masih terjebak dalam paradigma kurikulum sebagai proyek: setiap tahun lahir kurikulum baru dengan jargon revolusioner, disertai pelatihan kilat dan penyerapan anggaran miliaran rupiah. Namun, hasilnya sering kali tak berbanding lurus. Sistem pendidikan tetap kopong, dan peserta didik justru lebih akrab dengan budaya joget-joget di media sosial ketimbang literasi dan numerasi.

Pendidikan yang kuat lahir dari kesinambungan, bukan dari perubahan yang tergesa-gesa. Kita memerlukan kurikulum yang tahan uji zaman, yang membentuk karakter dan daya pikir anak bangsa, bukan kurikulum tambal sulam yang silih berganti. Maka, mari berhenti menjadikan kurikulum sebagai alat kosmetik politik. Saatnya fokus pada kualitas, bukan kuantitas perubahan. (*) 



 
Top