Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
DUNIA seperti sudah mulai kehabisan ide. Setelah donat rasa sambal matah dan kripik pisang rasa kopi, kini segera hadir es krim rasa ASI. Ini bukan prank. Ini nyata. Disponsori oleh merek bayi yang namanya sudah seperti nama perempuan gen-Z, Frida dari Amerika.
Tapi tenang dulu, ini bukan ASI sungguhan, kata mereka. Cuma rasa ASI. Es krim ini dibuat untuk menjawab pertanyaan besar umat manusia yang selama ini diam-diam membuat semua orang bertanya-tanya, “Sebenarnya, ASI itu rasanya seperti apa sih?”
Dan karena ingin meniru proses kehamilan, kita harus menunggu sembilan bulan buat mencoba es krim ini. Ya, sama seperti menunggu bayi. Bedanya, yang ini gak bisa diajak sunat atau masuk PAUD.
Yang jadi pertanyaan filosofis, siapa target pasarnya? Bayi jelas gak bisa makan es krim. Paling banter, mereka baru bisa gigit puting susu ibunya doang. Anak kecil? Mungkin. Tapi mereka lebih suka rasa cokelat atau stroberi, bukan “lemak omega-3 dengan aftertaste kacang asin dan zat besi.”
Jadi tinggal satu kemungkinan: orang dewasa. Dan di sinilah kita mulai memasuki wilayah absurd. Orang dewasa, duduk di kafe hipster, nyendokin es krim rasa ASI sambil bilang, “Hmm… ada hint kenangan masa menyusu dulu, ya.”
Serius, coba bayangin ketika seseorang lagi pedekate sama cewek, lalu ditanya, “Kamu suka es krim rasa apa?”
“Aku sih lebih ke rasa alami… kayak ASI.” Ha…! Yang nanya dijamin matanya langsung melotot. Masih bagus kalau langsung dicoret dari daftar calon suami ideal. Kalau diketok pakai gayung dulu, gimana?
Yang bikin geli, mereka mengaku es krim ini “penuh nutrisi”, ada lemak baik, karbohidrat, vitamin, bahkan H2O. Lah, itu mah susu formula! Tapi dikasih label “es krim rasa pengalaman menyusu masa lalu”, langsung naik kelas jadi nostalgia kuliner.
Yang dikhawatirkan, bentar lagi muncul varian baru: Es krim rasa air ketuban (untuk kenangan trimester awal), Sorbet rasa bedak bayi, Gelato rasa bau ketiak ayah. Hadeeeh…
Ini bukan soal rasa, tapi soal sensasi. Kita sudah hidup di dunia yang lebih suka pengalaman absurd daripada kenyataan pahit. Ketimbang menyelesaikan krisis iklim, kita milih bikin es krim rasa tubuh manusia.
Frida sudah membuktikan, kalau marketing cukup kreatif, orang dewasa pun bisa dibuat ngiler sama makanan bayi. Dan mungkin, sebentar lagi, kita gak makan buat kenyang lagi. Kita makan buat mengenang.
Kita juga harus jujur. Begitu mendengar “rasa ASI”, mayoritas orang dewasa otaknya langsung ngebelok ke jalur cepat menuju bayangan payudara. Ini bukan asumsi liar, tapi realita algoritma sosial media dan komentar netizen kaum 58 persen.
Bayangkan cowok-cowok iseng nongkrong sambil nyendokin es krim, terus salah satu nyeletuk, “Wah, rasa ini mirip… pengalaman dulu waktu pacar lagi nyusuin anaknya, gue nyicip dikit, hehehe.”
“Hehehe palak lo, brengsek!”
Nah, dari sini kita mulai masuk wilayah berbahaya. Karena ketika “pengalaman menyusu” dijual dalam bentuk es krim dan dibungkus sebagai nostalgia, beberapa orang sangat bisa membelokkan jadi fantasi seksual. Makanya, gak heran kalau muncul kekhawatiran, apakah es krim rasa ASI ini cuma produk, atau pemicu berahi berkedok nostalgia?
Apakah ini bentuk glorifikasi tubuh perempuan—lagi dan lagi—sebagai objek konsumsi? Dan jangan salah. Produk seperti ini bisa saja tanpa sadar membuka ruang normalisasi terhadap fetishisasi aktivitas menyusui. Padahal menyusui itu kodrat biologis, bukan tontonan di panggung ketoprak.
Masalahnya, gak semua orang punya filter moral yang sehat. Ada yang begitu dengar “es krim rasa ASI”, langsung ngelamun sambil megang cup, “Hmmm… kayak rasa Mbak Susi, tetangga sebelah, waktu dia pake daster bolong…”
Woi! Ini es krim! Fokus ke nutrisi dong, bukan dada tetangga!
Ini yang bahaya, branding yang sensual tanpa pengamanan moral bisa jadi lubang jebakan. Hari ini nyobain es krim rasa ASI, besok mungkin ada yang mengajak roleplay jadi bayi. Ngeri kali kan?
Ini bukan mau suudzon. Tapi kita hidup di dunia yang penuh ironi. Di satu sisi kita kampanye anti-pelecehan, di sisi lain kita jualan rasa-rasa yang menyentuh area sensitif secara psikologis.
Jadi mungkin bukan soal omes alias otak mesum. Dunianya saja yang makin absurd. Dan mungkin, daripada bikin es krim rasa ASI, mending bikin es krim rasa akal sehat. Walau rasanya pahit, tapi bisa menyegarkan pikiran kita semua. (*)