Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
LIBUR panjang dari Nyepi, Idul Fitri, ditambah dengan cuti bersama, membuat banyak pendatang mudik ke kampung halaman mereka, baik yang berasal dari Jawa maupun Lombok dan daerah lainnya di negeri ini.
Di satu sisi, Bali menjadi lengang, tak ada kemacetan, jalanan yang biasanya padat kini terasa lapang. Semua lancar.
Di sisi lain, mencari transportasi online menjadi tantangan tersendiri. Tukang ojek online, baik motor maupun mobil, tampaknya ikut mudik, meninggalkan kota tanpa layanan yang biasa tersedia dengan mudah.
Tak hanya transportasi, kesulitan lain pun muncul. Teman saya yang sedang membangun mendapati dirinya kesulitan mencari tukang, karena banyak pekerja bangunan yang pulang kampung.
Warung pecel lele, gerobak gorengan, dan pedagang kaki lima banyak yang tutup. Mereka yang biasanya menawarkan ragam kuliner di setiap sudut jalan, tiba-tiba terasa kosong.
Sadar atau tidak, dirasakan atau tidak, mudik ini ternyata mempertontonkan sisi lain; betapa sektor informal di Bali telah dikuasai oleh penduduk pendatang.
Jika ini terjadi karena warga lokal memiliki pekerjaan lain dengan gaji lebih tinggi, mungkin bisa dimaklumi. Namun, jika sektor ini diambil alih karena warga lokal kalah bersaing, maka ini bisa menjadi peringatan serius.
Jika dibiarkan, warga lokal berisiko tergusur di tanah mereka sendiri. Ini berbahaya bagi Bali. Ini tak boleh terjadi karena ke depan, kondisi ini berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Di banyak tempat konflik antara penduduk asli dan pendatang sering kali bermula dari ketimpangan ekonomi.
Sejauh ini Bali masih harmonis, namun keharmonisan itu harus terus dijaga. Penduduk lokal maupun pendatang harus menjaga keharmonisan itu dengan baik.
Fenomena yang terjadi seperti yang terkuak dalam mudik ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi masyarakat dan pengambil kebijakan di Bali. Mengapa sektor informal di Denpasar, Badung, dan kabupaten lainnya lebih banyak diisi oleh pendatang?
Apakah karena keterampilan? Rasanya tidak, sebab warga Bali juga memiliki keterampilan yang tinggi.
Apakah karena upah yang lebih murah? Apakah tukang dari Jawa dan Lombok lebih terjangkau dibanding tenaga kerja lokal?
Atau karena faktor etos kerja, di mana pendatang lebih gigih sementara warga lokal sering kali dianggap terlalu banyak libur?
Ataukah karena jejaring sosial yang lebih kuat di antara para pendatang, yang memudahkan mereka saling membantu mencari pekerjaan?
Semua ini perlu ditelaah agar masyarakat lokal tidak makin termarginalkan di daerahnya sendiri.
Begitu pula dengan warung-warung kecil dan pedagang keliling. Saat libur panjang seperti ini, banyak warung tutup, dan masyarakat yang sudah terbiasa membeli makanan jadi kebingungan.
Padahal, dulu, warga Bali terbiasa memasak sendiri. Memasak bukan hanya soal makanan, tetapi juga bagian dari ritual, seperti menyiapkan banten saiban.
Jika kebiasaan memasak mulai ditinggalkan karena lebih praktis membeli makanan dari luar, bagaimana dengan keberlanjutan tradisi saiban ini?
Apakah pergeseran ini sudah sejauh itu? Hal ini perlu diperhatikan demi menjaga kelestarian budaya Bali.
Fenomena mudik ini juga mengajarkan bahwa dalam kehidupan modern, manusia tidak bisa hidup sendiri. Ada keterikatan antara penduduk asli dan pendatang yang tidak bisa dipisahkan.
Warga lokal yang memiliki kos-kosan bergantung pada pendatang untuk menyewakan kamar-kamarnya. Jika pendatang tidak kembali, pemilik kos kehilangan sumber penghasilan pasifnya.
Di sisi lain, pendatang juga harus menjaga hubungan harmonis dengan warga lokal. Jangan sampai ada yang membawa pengaruh buruk, seperti tindak kriminal atau perilaku yang tidak sesuai dengan budaya setempat.
Banyak hal yang bisa dipelajari dari mudik kali ini. Betapa kehidupan masyarakat Bali semakin terikat dengan kehadiran pendatang, di tengah laju industrialisasi yang kian pesat.
Yang terpenting adalah bagaimana menjaga keseimbangan agar hubungan ini tetap harmonis dan saling menguntungkan.
Bali adalah rumah bagi semua yang menghargai dan menjaganya, baik warga asli maupun para pendatang yang mencari nafkah di tanah ini.
Selamat Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-92. (*)
Denpasar, 1 April 2025