Cerpen Masya Firdaus
DI tahun 1995, banjir menenggelamkan rumah majikanku. Saat itu aku sedang berjuang melawan kemiskinanku.
Aku dapat teguran majikanku. Mba pulanglah dulu.
“Nanti setelah punya identitas datanglah kembali,” kata majikanku. Kerja dua minggu dibayar sebelas ribu.
Entahlah.
Dalam dua tahun ini, aku kehilangan KTP dua kali. Petugas kabupaten Cilacap menegurku karena aku teledor. Akhirnya aku malas ingin membuat KTP lagi.
Aku menganggap remeh dompet kosong dalam bepergian naik kereta. Biarlah dompet kosong disambar copet, paling dia akan kecewa dompet kosong bisikku. Namun rasa kecewa berbalik padaku.
KTP jadi sumber huru-hara dalam bekerja. Dan aku pikir, pekerjaan babu tak perlu identitas.
Uang sebelas ribu hanya untuk bisa beli karcis bus “Doa Ibu” jurusan Jakarta ke Sidareja. Sisa sedikit aku belikan jajanan kerupuk untuk adikku tercinta.
Sepanjang perjalanan, air mataku tumpah ruah. Gerangan apa yang akan terjadi? Aku sudah tiga tahun bekerja di Ibu Kota, seperak pun uang tak aku pegang. Setiap aku gajian, uangnya aku buat berburu literasi; aku membeli buku, membaca, dan membaca buku.
Setelah bus sampai Sidareja, lanjut berjalan kaki menuju desa Jati Sari
Saat tiba perjalanan Jakarta – Sidereja seorang diri, dikira bungkusan plastik keresek roti khong guan namun hanya berisi kerupuk dan keripik teri. Adikku berpaling lari sambil menggendong adiknya, ah cuma kerupuk ku kira roti. Bapakku yang berharap tumpukan uang yang diberi ternyata hanya tumpukan buku-buku berseri.
Lelah aku ditindas majikan, dijauhkan dari keluarga. Lelah aku di Ibu Kota, pulang disambut macan-macan keluarga dan tetangga.
“Ah, cuma bawa buku! Emang bisa dimakan?” cibir keluarga dan tetangga.
Jika orang turing di sebuah vila atau di hotel-hotel mewah tapi aku disarang macan dan buaya. Sempurnalah penderitaanku.
Gadis-gadis kampung yang mendekatiku, diseretnya ayahnya pulang! Jangan dekati dia, nanti ketularan sesat.
Oh, kejamnya dunia! Rasanya aku ingin pulang ke rahim-Mu atau tinggal di hutan saja.
Namun aku hanya bisa mengurung diri satu tahun lamanya. Kakekku yang menjadi dukun sedang mengalami koma berbulan-bulan.
Orang menjenguk datang silih berganti sambil berbisik, “Ada dua orang sakit. Kakeknya koma, cucunya sakit jiwa.”
Aku hanya bisa tertawa dalam hati sambil menikmati buku. Aku membaca buku foto copy yang berjudul empat imam mashab Hanafi, Maliki. Syafi’i dan Hambali. Aku baca berulang kali. Orang bilang aku akan mati membusuk bunuh diri.
Tidak. Aku hanya sedang menyusun strategi, mengumpulkan tenaga jiwa raga untuk datang ke Ibu kota lagi, berjuang melawan kebodohan dan kemiskinan lagi.
Tak kusangka, Ibu majikan yang mengusirku, badannya kurus kering terhantam badai banjir 1995-1996. Aku merawatnya hingga dia dipanggil Tuhan yang Maha Kuasa. (*)
Jakarta, 25 Maret 2025