PADANG — Awal tahun 2025 terasa panas di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar). Tidak semata karena cuaca ekstrem, tapi juga karena melonjaknya angka perceraian pasangan suami istri. Data yang dirilis oleh Pengadilan Agama (PA) Padang menunjukkan adanya lonjakan tajam, dengan catatan sebanyak 400 perkara perceraian hanya dalam kurun waktu Januari hingga Maret 2025.
Ketua PA Padang, Nursal, mengungkapkan bahwa mayoritas gugatan perceraian berasal dari pihak istri, atau dikenal sebagai cerai gugat. Dari total 400 kasus, sebanyak 302 perkara diajukan oleh perempuan.
“Faktor ekonomi menjadi penyebab tertinggi, disusul oleh perselingkuhan dan campur tangan keluarga,” ujar Nursal saat diwawancarai pada Senin (14/4/2025).
Fenomena ini memunculkan istilah baru di kalangan warga net: “Janda semakin di depan!”, sebagai sindiran sosial terhadap meningkatnya jumlah perempuan yang memilih mengakhiri pernikahan ketimbang bertahan dalam hubungan yang dinilai tak sehat, tak harmonis, bahkan menekan secara psikologis.
Kondisi ekonomi yang tak stabil pasca pandemi dan inflasi yang terus menggerogoti daya beli masyarakat disebut-sebut menjadi pemicu utama. Banyak rumah tangga tak lagi mampu bertahan di bawah tekanan biaya hidup yang tinggi. Namun, di balik alasan finansial, perselingkuhan juga mencuat sebagai bom waktu dalam banyak rumah tangga.
“Sekarang perempuan sudah lebih berani. Mereka tidak mau lagi terjebak dalam pernikahan yang penuh kebohongan, apalagi kalau pasangannya tidak setia dan tidak bertanggung jawab,” ungkap Dian (37), salah seorang warga Padang yang juga merupakan mantan istri dari perkara cerai gugat beberapa tahun lalu.
Selain itu, campur tangan keluarga besar dalam kehidupan rumah tangga pasangan muda turut menjadi penyumbang angka perceraian. Kondisi ini dirasakan baik oleh pihak suami maupun pihak istri. Tidak sedikit pasangan yang mengaku merasa terkekang atau tertekan oleh tuntutan dan intervensi dari orang tua atau mertua.
Pengamat sosial dari Universitas Negeri Padang, Dr. Reni Wulandari, menilai bahwa fenomena ini adalah refleksi dari pergeseran pola pikir perempuan modern, khususnya generasi milenial dan Gen Z, yang lebih memilih mandiri dan bebas ketimbang bertahan dalam hubungan toksik.
“Ini bukan semata soal emansipasi, tapi soal ketegasan perempuan dalam menjaga martabat dan kesehatan mentalnya,” jelas Reni.
Di sisi lain, lonjakan ini juga menjadi alarm bagi pemerintah daerah dan lembaga sosial untuk mulai memperkuat edukasi pranikah dan konseling keluarga, agar perceraian tidak menjadi ‘tren musiman’ yang terus berulang setiap awal tahun.
Sementara itu, di media sosial, muncul berbagai tanggapan satir hingga yang bersifat nasihat terhadap para perempuan yang memilih berpisah. Tak sedikit pula yang memanfaatkan tren ini sebagai bahan konten atau dagelan digital dengan nada sinis:
“Jangan cari jodoh, carilah kebahagiaan bersama. Perempuan jika tidak punya kemampuan apa-apa, pas kerjaan suami jeblok trus penghasilan merosot, apa mau hidup menderita? Kasihan anak-anak. Mending kalau cuma itu. Bagaimana pula jika suami sakit parah atau meninggal dunia? Mau bergantung pula ke saudara atau orangtua? Kekinian eranya kolaborasi suami istri dalam meningkatkan taraf hidup. Jangan larut dengan doktrin ortodoks hidup bergantung dari penghasilan suami. Ingat juga masa depan anak-anak."
"Di tengah kehidupan serba sulit belakangan ini, tidak ada salahnya seorang istri ikut berperan membantu suami dalam menopang perekonomian keluarga. Jadi tidak semata bergantung pada kewajiban dan tanggungjawab suami. Karena itu kaum perempuan berstatus istri perlu senantiasa meningkatkan kapasitas diri, lebih berfikiran maju dan mengkesampingkan ego demi kelanggengan hidup berumah tangga"
Suka atau tidak, angka tidak bisa berbohong. Awal tahun 2025 telah menjadi panggung nyata dari perubahan dinamika rumah tangga di Padang. Satu hal yang pasti: para janda yang telah membekali diri dengan sikap kemandirian, kini tidak lagi menunduk malu, melainkan berjalan tegak—karena mereka tahu, lebih baik sendiri daripada tersiksa lahir bathin.
(put/edo)