Oleh: Wahyu Iryana *)
MALAM melipat sunyi di beranda
di jalanan sempit menuju musala
sandal-sandal tergeletak rapi
sementara tubuh-tubuh bersandar pada waktu
merapal doa yang jatuh perlahan
seperti daun-daun di halaman rumah
Tarawih adalah jeda dalam ingatan
dari suara imam yang melayang di udara
dari kepala-kepala yang tunduk dalam lingkaran cahaya
mencari sisa-sisa ketenangan
di antara ayat-ayat yang mengalir
seperti sungai kecil di dada
Tak ada yang bertanya tentang bilangan
karena angka hanyalah bayang-bayang
yang memudar dalam zikir yang menggemakan malam
sementara langkah-langkah kecil
mencatat gerakan yang dulu diajarkan ibunya
di ruang tamu yang masih mengingat suaranya
Kemudian malam melipat dirinya
bintang-bintang bersandar di atap rumah
suara dari musala merambat pelan
melewati gang-gang sempit
mengetuk jendela yang tak pernah tertutup
Di kejauhan
seseorang menunggu imsak
dengan sisa teh yang mendingin di meja
sebab lapar bukan hanya tentang perut yang kosong
kadang ia adalah percakapan yang tertahan
antara dua diam yang saling berpandangan
Imsak bukan sekadar peringatan
ia adalah garis tipis antara menahan dan merelakan
antara menggenggam dan melepaskan
maka seteguk air yang tak jadi diteguk
adalah doa yang belum sempat selesai
tetapi siap dipanjatkan kapan saja
Subuh pun datang perlahan
seperti bayangan yang mencair di kaca jendela
sementara mata yang lelah menunggu terang
dan udara yang gemetar menafsirkan pagi
Ramadan tak pernah menuntut terburu-buru
ia duduk diam di tepi waktu
menunggu hati-hati yang kembali pada sunyi
yang ingin berbincang dengan Tuhan
dengan bahasa yang tak perlu dijelaskan.(*)
*) Penyair dari Tanah Pasundan Tanah yang Diciptakan Tuhan Ketika Tersenyum