Oleh: Wahyu Iryana


MALAM hari, sesudah sidang isbat pak menteri agama, Ramadan tiba ditandai shalat Tarawih pertama.


Ketika langit masih perawan,

dan kota bernafas dalam embun yang gugup,

dari kejauhan, suara azan subuh

menyelinap di celah menara batu—

gema yang pelan, tetapi penuh luka dan doa.


Di dalam gereja, lilin-lilin kecil masih berdiri,

menunggu fajar dengan punggung tertunduk.

Di antara kaca patri yang berkilauan lembut,

cahaya jingga mulai menyapu altar,

seolah mendengar panggilan yang sama,

seolah mengerti bahwa sujud dan doa

bertemu dalam diam yang tak perlu kata-kata.


Azan itu menari di antara salib dan lonceng,

melayang seperti burung yang mencari sarang,

melewati pintu-pintu yang tak pernah terkunci,

mengetuk hati yang selalu bertanya,

tentang rumah, tentang cahaya,

tentang Tuhan yang mungkin lebih dekat

daripada bayangan sendiri.


Di bangku kayu yang berumur ratusan tahun,

seorang lelaki tua merapatkan kedua tangan,

berdoa dalam sunyi yang tak memilih warna,

sementara di kejauhan, di menara lain,

seorang muazin menutup matanya,

mendengar suaranya sendiri menggetarkan batu.


Dan fajar pun datang dengan langkah pelan,

menyapu tanah, membelai menara,

menghapus batas yang sering kita pahat

dengan prasangka yang tak pernah bertanya.


Suara azan itu pun hilang,

melebur dalam doa yang lain,

di gereja, di masjid, di hati yang letih

tetapi selalu ingin percaya

bahwa cahaya adalah milik semua. (*)


Lampung, 2 Maret 2025




 
Top