Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Kaba “Catuih Ambuih”
DALAM sejarah pemerintahan Minangkabau, dua sistem utama berkelindan membentuk harmoni: kelarasan Katumangguangan yang berjenjang naik bertangga turun, mencerminkan prinsip aristokrasi berbasis kepemimpinan yang tersaring dari mereka yang memiliki kebijaksanaan dan pengalaman; serta kelarasan Parpatiah yang menegaskan prinsip demokrasi melalui musyawarah mufakat, di mana kesetaraan dan kebersamaan menjadi ruh dalam pengambilan keputusan.
Kedua sistem ini berjalin dalam falsafah Tigo Tali Sapilin, yakni keseimbangan antara unsur kepemimpinan yang berwibawa, keterwakilan rakyat yang berintegritas, dan sistem pengambilan keputusan yang berbasis musyawarah.
Tali Tigo Sapilin sebagai Pilar Demokrasi yang Berimbang
Tali Tigo Sapilin dalam falsafah Minangkabau adalah konsep keseimbangan dalam sistem kepemimpinan dan pemerintahan adat. Secara harfiah, “tali” berarti ikatan atau hubungan, “tigo” berarti tiga, dan “sapilin” berarti saling berpilin atau berpadu. Ini menggambarkan tiga unsur utama dalam kepemimpinan yang harus bekerja secara harmonis untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat.
Dalam sistem demokrasi, keseimbangan antara pemerintahan (niniak mamak), etika sosial dan agama (alim ulama), serta keilmuan dan inovasi (cadiak pandai) sangat penting agar pemerintahan tidak hanya berjalan berdasarkan kepentingan politik semata, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai moral dan berbasis pengetahuan.
Jika salah satu elemen ini lemah atau diabaikan:
Tanpa pemerintahan yang kuat, negara bisa menjadi anarki.
Tanpa moralitas dan nilai sosial, demokrasi bisa menjadi liberal tanpa arah yang jelas.
Tanpa keilmuan dan kebijakan berbasis data, pemerintahan bisa berjalan tanpa inovasi dan kemajuan.
Oleh karena itu, “Tali Tigo Sapilin ” dalam negara demokrasi adalah prinsip keseimbangan yang memastikan bahwa pemerintahan tidak hanya berorientasi pada kekuasaan, tetapi juga mempertimbangkan moralitas dan ilmu pengetahuan demi kemajuan bangsa.
Dengan menerapkan prinsip ini, demokrasi dapat berkembang menjadi sistem yang berintegritas, berbasis musyawarah, dan bertanggung jawab kepada rakyat, selaras dengan semangat yang tertanam dalam falsafah Minangkabau.
Dalam konteks modern, aristokrasi dapat dimaknai sebagai kepemimpinan oleh individu-individu yang memiliki pengetahuan, kemampuan manajerial, dan kepemimpinan visioner, sementara demokrasi tetap menjadi wadah utama bagi keterlibatan rakyat melalui legislator yang benar-benar terpilih atas dasar integritas, kompetensi, dan reputasi. Tidak boleh ada ruang bagi praktik money politics atau manipulasi kekuasaan yang mereduksi makna sejati demokrasi dan aristokrasi itu sendiri.
Sistem ini hanya akan berjalan dengan baik jika mereka yang berkuasa adalah sosok-sosok dengan jiwa nasionalisme militan, yang melihat kekuasaan bukan sebagai sarana memperkaya diri, tetapi sebagai tanggung jawab luhur untuk membawa bangsa menuju kedaulatan sejati.
Refleksi Filsafat dalam Konteks Pemerintahan Ideal
Plato, dalam Republik, merumuskan konsep philosopher-king, yakni pemimpin ideal yang tidak hanya memiliki kekuasaan tetapi juga kebijaksanaan dan kebajikan moral. Dalam konteks Minangkabau, ini dapat disejajarkan dengan prinsip aristokrasi modern, di mana pemimpin bukan ditentukan oleh garis keturunan atau modal finansial, melainkan oleh kapasitas intelektual dan moral yang teruji.
Sementara itu, Aristoteles dalam Politika menekankan pentingnya polity, yaitu pemerintahan yang merupakan gabungan antara aristokrasi dan demokrasi, di mana keputusan diambil berdasarkan musyawarah dari perwakilan rakyat yang kompeten.
Ini sejalan dengan falsafah Minangkabau yang menjunjung tinggi duduak samo randah, tagak samo tinggi, menegaskan bahwa meskipun ada hierarki kepemimpinan, semua keputusan tetap berakar pada kesepakatan bersama dan kepentingan kolektif.
Lebih lanjut, John Rawls dalam A Theory of Justice memperkenalkan konsep kesetaraan yang berkeadilan, di mana semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai posisi kepemimpinan, namun hanya mereka yang paling kompeten dan bermoral yang akhirnya layak menduduki posisi tersebut.
Ini menjadi relevan dalam konteks pemerintahan berbasis meritokrasi, di mana jabatan tidak diberikan atas dasar privilese tetapi berdasarkan kualitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menuju Bangsa yang Berdaulat dan Bermartabat
Dalam sistem yang ideal, aristokrasi modern memberikan struktur kepemimpinan yang berbasis keunggulan, sementara demokrasi berbasis mufakat memastikan bahwa kepemimpinan tersebut tetap berakar pada aspirasi rakyat. Kombinasi ini menciptakan tatanan pemerintahan yang tidak hanya efektif tetapi juga berkeadilan.
Seperti dikatakan oleh Thomas Jefferson, “Pemerintahan yang baik harus menggabungkan kebijaksanaan dari mereka yang terbaik dengan suara rakyat yang berdaulat.” Maka, untuk menuju bangsa yang berdaulat, berkeadilan, dan maju, sistem ini harus dibangun di atas fondasi pendidikan politik yang kuat, partisipasi rakyat yang sadar, serta sistem seleksi kepemimpinan yang berbasis integritas dan kompetensi.
Dengan begitu, kita tidak hanya membangun pemerintahan yang kuat, tetapi juga peradaban yang maju dan bermartabat. (*)
Padang, 2025