Oleh: Mila Muzakkar


PUISI esai ini ditulis khusus sebagai kado ulang tahun untuk Bunda Musdah Mulia, seorang pejuang perempuan yang tak kenal lelah menyuarakan kebenaran dan perdamaian –


Ia berjalan dengan langkah yang tak pernah surut,

usianya hampir tujuh puluh tahun,

tapi semangatnya masih delapan belas.


Dari lorong-lorong sunyi hingga podium-podium dunia,

suara perempuan itu menggema: keadilan, kesetaraan, kemanusiaan.

Angin malam pernah berbisik padanya, “Berhentilah, ini bukan perjuangan yang aman.”


Namun ia tersenyum, menatap bulan yang membelah langit.

Dengan lirih ia katakan pada dirinyanya, “Jika aku berhenti, siapa yang akan meneruskan?”


Hari itu, ia berdiri di podium,

Lalu seorang jamaah lelaki berdiri,

dengan suara meninggi, ia berkata: “Kau perempuan, muslimah, kenapa kau melawan? Bukankah kodratmu adalah patuh, diam di rumah, menjaga anak, melayani suami?”


Ia menarik napas, tajam, “Jika Nabi membela hak perempuan, mengapa kau menentangnya?

Jika Tuhan menganugerahkan akal pada semua manusia, mengapa kau merenggutnya dari kaumku?

Aku muslimah, aku beriman, dan aku melawan, bukan untuk diriku, tapi untuk semua perempuan yang suaranya masih dibungkam.”


Hening. Suara tak perlu meninggi untuk membuat dunia mendengar.


Setelah pidato usai, di lorong sepi, seseorang menghadangnya.

“Kau tidak takut?” tanya lelaki itu, wajahnya penuh tanda tanya.


Ia tersenyum kecut, “Aku takut. Tapi diam lebih menakutkan.”


Dunia bukan panggung yang ramah.

Ancaman sering datang dalam sunyi, bagai bayangan yang mengekor di malam hari.

Malam itu, di layar ponselnya, pesan-pesan ancaman mengalir: “Kami mengawasimu. Berhenti, atau kau akan mati.”

Ia menutup mata, mendengar detak jantungnya sendiri. “Aku sudah mati berkali-kali,” bisiknya. “Saat melihat perempuan dirampas haknya,dibungkam suaranya, dan saat keadilan menjadi dagangan.”


Hatinya tak gentar sedikit pun. “Aku sudah menyesal sejak lama, menyesal karena tak melawan lebih awal. Jika aku harus mati, biarkan aku mati berjuang.” Balasnya pada pengirim pesan itu.


Mereka mengira ia akan gentar,

namun dunia menampakkan lain.

Ia sudah terlalu lama hidup dengan ketakutan, hingga akhirnya ia menikahinya, dan menjadikannya teman seperjalanan.


Perempuan paruh baya itu terus berjalan, dari negeri ke negeri, dari kota ke desa, mengabarkan bahwa dunia masih pincang,

bahwa keadilan belum merangkul semua insan.


Di sebuah lorong kecil, berlari gadis kecil memeluknya erat,

“kalau besar nanti, apakah aku bisa menjadi perempuan sepertimu?” tanyanya.

Ia tersenyum, membelai rambut gadis itu.

“Kau tidak harus menjadi aku, kau hanya harus menjadi dirimu sendiri, yang tak takut menyuarakan kebenaran.”


Gadis itu mengangguk, matanya berkilat harapan.

Ia tahu, perjuangan belum usai, tapi benih telah ditanam.

Suatu hari, dunia akan berubah lebih ramah dan damai untuk untuk semua. (*)


Catatan

Puisi esai ini ditulis menggunakan bantuan AI




 
Top