Penulis: Ririe Aiko
#30harimenulispuisiesai
Puisi esai 04
PUISI didramatisasi dari sebuah kasus wartawan yang dibunuh, setelah membongkar kasus korupsi, namun sampai saat ini pembunuhnya tidak ditemukan – (1)
Di kota yang bernafas dalam gelap,
seorang lelaki menulis cahaya.
Namanya terselip disudut berita,
dalam lipatan koran yang kerap disingkirkan.
Ia mendengar bisik pohon di halaman kantor,
menceritakan uang yang lenyap tanpa jejak,
tentang kuasa yang bersetubuh dengan dusta,
tentang para manusia serakah,
yang berebut kursi tahta.
Tiap huruf yang ia tata di halaman surat kabar
adalah palu bagi tembok kebohongan.
Setiap kalimat yang ia ukir,
adalah anak panah yang siap ditarik dari busur
Namun malam telah menyusun takdirnya.
Sebelum sempat ia beritahu pada dunia,
Tentang rahasia kebusukan kursi tahta,
Seseorang datang mengintai di tikungan sunyi,
dan di kota ini, kebenaran adalah nyala
yang terlalu berani membakar gelap.
—ooo—
Ia pulang dengan langkah yang masih percaya,
tak tahu sesosok bayangan mengikuti,
mengasah sebuah belati.
Udara beku mulai merayap di tengkuknya,
Merobek rasa sakit di punggungnya.
Dunia berputar dalam isak angin,
darahnya gugur di atas aspal bisu.(2)
Tak ada saksi, hanya malam
yang mencatat dengan tinta kelam.
Di ranjang rumah sakit yang dingin,
ia menggenggam udara yang tak lagi setia.
Matanya, sepasang jendela dunia,
perlahan memudar, lalu padam.
Tak ada lonceng yang berbunyi,
tak ada api yang berkabung.
Hanya sebaris berita yang terburu-buru,
menyisipkan namanya di sela iklan dan angka saham.
Kematiannya dirayakan oleh para pemburu,
Perebut kekuasaan yang takut digulingkan.
Berita Kepergian hanya ditangisi,
Oleh mereka yang rindu suara keadilan
—ooo—
Dan pahlawan itu tak tertulis dalam sejarah,
namanya tak tercatat sebagai pahlawan,
Padahal ia menegakkan hukum dengan penanya.
Tapi dunia terlalu takut mengingatnya.
Kepergiannya seolah gerimis yang menyapa pagi.
Pelan dan perlahan di lupakan.
Kota itu kembali berdenyut,
Roda di jalanan saling berpacu seperti biasa,
Namun ada yang tak lagi utuh, Suara kebenaran.
Di rumah, orang-orang berbisik,
Tak adalagi yang berani bicara lantang.
seperti angin yang takut mengeja badai.
Jendela tertutup, pena kebenaran menggigil,
sebab mereka tahu, keadilan bisa dibungkam
sebelum sempat bersuara.
Tapi akankah cahaya keadilan bisa dipadamkan?
Atau ia menunggu saat yang tepat,
untuk meledak di jantung sejarah?
Di suatu tempat, di halaman surat kabar
yang kini berdebu di rak usang,
tulisan terakhirnya masih bernapas.
Menyala.
Menunggu dibaca.
—ooo—
Catatan:
(1)https://www.tempo.co/internasional/kasus-pembunuhan-jurnalis-udin-25-tahun-tak-terungkap-didiskusikan-di-malaysia-350756?utm_source
(2)https://www.insideindonesia.org/archive/articles/death-of-a-journalist-2732?utm