Oleh: Rizal Tanjung


(Dalam Sebuah Imajiner)


di sini, di batas laut yang pernah jadi ibu,

pagar megah telah selesai,

menjulang dari kepala arsitek yang tak pernah mengarungi gelombang,

tingginya serupa doa yang tak sempat dipanjatkan.


kapal-kapal nelayan kini hanya serpihan cerita,

tenggelam di dasar rencana kota,

jaring yang dulu menjerat ikan kini menjerat utang,

dan perahu reyot berubah jadi properti.


beranda balkon berjejer rapi,

tempat wisatawan berselfie di atas riwayat yang dikubur,

sambil kopi-kopi mahal dinikmati dengan senyum kecil,

“ah, pemandangannya indah sekali.”


padahal di bawah sana,

di kedalaman sunyi yang tak pernah muncul di brosur,

ada nyawa-nyawa yang dulu menambatkan harapan di pelabuhan,

sebelum nama mereka terhapus oleh sertifikat HGB.


tak ada lagi jala yang dilempar,

tak ada tawa anak-anak menyambut ayah yang pulang membawa hasil,

hanya sisa bau garam yang tertinggal di tapak-tapak rumah gusuran.


pagar laut sudah selesai.

Ia tak dibangun untuk menahan ombak,

tapi untuk menahan orang-orang yang sudah lebih dulu tinggal.


arsitektur wajah dewi di ujung dermaga,

tampak cantik dari drone dan kamera media,

tapi mata tertutup itu tahu—

ia menunduk bukan karena keindahan,

tapi karena malu.


malam-malam nelayan kembali berlayar di dalam mimpi buruk,

bukan lagi mengejar ikan,

melainkan mengejar kebebasan yang dijual per meter persegi.


pagi-pagi, laut menyapa pagar dengan cemburu,

menghantarkan perahu-perahu mati ke tepian,

sebagai nisan tanpa nama.


pagar laut sudah selesai,

tapi siapa yang bisa mengukur harga luka?

siapa yang bisa membeli hak tinggal dengan darah garam?


pagi datang, pelancong-pelancong berdatangan,

mereka tak tahu,

bahwa di setiap langkah di pelataran itu,

ada nyawa yang dikorbankan demi estetika.


pagar laut sudah selesai.

Ia lebih kuat dari ombak,

lebih kekal dari hak hidup,

lebih indah dari kejujuran.


dan di bawahnya,

nelayan menjadi legenda,

yang diceritakan di acara peresmian,

dengan kalimat:

“kami tetap menghormati kearifan lokal.”


sementara sisa-sisa perahu tua terbakar diam-diam,

agar tak merusak pemandangan.


pagar laut sudah selesai.

maka biarkanlah laut menulis sejarahnya sendiri—

tentang bagaimana ia lebih setia kepada yang terbuang

daripada yang membangun pagar dengan nama kemajuan. (*)


2025




 
Top