Karya: Rizal Tanjung


DI SEBUAH warung kopi tua yang nyaris ambruk, berkumpul para pemikir kelas bawah, tempat filsafat bertemu dengan kemiskinan dan ketidakadilan. Asap rokok berkelindan dengan kepulan kopi hitam, menciptakan atmosfer yang lebih pekat daripada nasib negeri ini.


Di pojok ruangan, seorang pria beruban dengan jubah sederhana menyeruput kopi pelan. Socrates, filsuf tua dari Athena, menatap cangkirnya seolah-olah di dalamnya terdapat jawaban atas kebobrokan dunia.


“Kawan-kawan,” katanya akhirnya, “aku dulu dihukum mati hanya karena bertanya terlalu banyak. Tapi di negeri ini, orang mati bukan karena bertanya, melainkan karena diam.”


Di seberangnya, Ibnu Khaldun, sang bapak sosiologi, menyesap kopinya dengan wajah masam. “Negeri ini sedang dalam tahap kehancuran. Aku sudah menuliskannya ratusan tahun lalu—dinasti dan pemimpin yang korup akan membawa negara menuju kehancuran. Tapi mereka tetap mengulang kebodohan yang sama.”


Aristoteles tertawa kecil, menatap baliho besar di depan warung dengan slogan “Menuju Masa Depan Cerah!” yang warnanya sudah memudar. “Aku pernah berkata bahwa politik seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan penguasa. Tapi di sini, politik adalah seni merampas dengan legalitas.”


Dari luar warung, suara gaduh terdengar. Seorang pemuda masuk dengan wajah kusut, melemparkan map berisi berkas-berkas yang sudah lecek.


“Plato!” seru pemuda itu, napasnya tersengal. “Aku sudah lima kali mencoba mengurus surat tanahku, tapi selalu ditolak. Sementara orang lain yang baru datang bisa langsung mendapatkannya hanya karena membawa amplop tebal!”


Plato, sang idealis yang sepanjang hidupnya mencari bentuk negara sempurna, hanya tersenyum pahit. “Ah, negara ini terlalu jauh dari ‘Republik’ yang kubayangkan. Keadilan hanya untuk mereka yang memiliki uang dan kuasa.”


Dari sudut lain, Nietzsche mendengus. “Kalian masih percaya keadilan? Di dunia yang digerakkan oleh kehendak untuk berkuasa, yang lemah akan selalu diinjak. Moralitas? Omong kosong. Yang kuat akan menang, yang lemah akan tersingkir.”


Tak jauh dari mereka, Al-Farabi, filsuf Muslim yang percaya akan konsep ‘Negara Utama’, menatap Nietzsche dengan tajam. “Tidak, Friedrich. Negeri ini seharusnya dipimpin oleh orang-orang bijak, bukan oleh mereka yang hanya pandai menguasai tanpa hati nurani.”


Sementara itu, Machiavelli tersenyum sinis, mengaduk kopinya dengan pelan. “Negeri ini justru menjalankan apa yang kuajarkan dalam The Prince. Kekuasaan adalah segalanya. Siapa yang mengendalikan ketakutan, mengendalikan rakyat.”


Suara dari radio tua di pojok warung kembali terdengar:


“Pemerintah mengumumkan kebijakan baru untuk membantu rakyat kecil. Subsidi akan segera disalurkan dengan mekanisme yang lebih transparan…”


Machiavelli tertawa keras. “Transparansi? Ha! Aku dulu menulis bahwa penguasa harus pintar menipu. Dan lihatlah, mereka menjalankannya dengan sempurna!”


Socrates menatap langit mendung. “Lalu, harus bagaimana?”


Marx, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Revolusi.”


Semua menoleh ke arahnya.


“Sejarah adalah perjuangan kelas,” lanjutnya. “Selama yang berkuasa terus menindas, selama rakyat terus diam, perubahan tidak akan pernah terjadi. Hanya ada satu solusi: perlawanan!”


Ibnu Khaldun menggeleng. “Revolusi tanpa ilmu hanya akan melahirkan tiran baru. Sejarah sudah membuktikan.”


Di luar warung, seorang pemuda berseragam ormas turun dari motor, tatapannya tajam. “Pak, katanya di sini ada yang suka bicara soal ketidakadilan?”


Socrates menyeringai. “Kami cuma rakyat kecil, Mas. Mana mungkin bicara soal besar seperti itu?”


Pemuda itu tersenyum miring. “Bagus. Jaga mulut kalian. Jangan sok tahu. Hilang tiba-tiba, lho.”


Ia berlalu, meninggalkan warung dalam keheningan.


Plato menatap seisi ruangan. “Jadi, kita harus bagaimana?”


Sartre menyalakan rokoknya, tatapannya penuh pemberontakan. “Kita harus menciptakan makna kita sendiri. Jika negara ini tidak mau sembuh, maka kita harus menjadi penyakit bagi mereka—penyakit yang tidak bisa mereka hilangkan!”


Nietzsche tersenyum miring. “Akhirnya, ada yang berani menjadi manusia unggul.”


Machiavelli menyesap kopinya sekali lagi. “Kalian mau melawan? Silakan. Tapi ingat, dalam politik, yang menang bukan yang paling benar, tapi yang paling licik.”


Di luar, angin panas tetap berkeliaran, membawa bau knalpot, keringat, dan harapan yang terbakar pelan-pelan.


Di negeri ini, mereka yang diam dianggap aman.

Mereka yang melawan dianggap musuh.

Tapi sejarah tidak pernah ditulis oleh orang yang diam.

Dan mereka tidak akan diam. (*)


Padang, 2025.




Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama
 
Top