Penulis: Ririe Aiko
DI NEGERI yang katanya kaya raya ini, ada sebuah ironi yang sulit dicerna akal sehat. Berita korupsi terus bermunculan, jumlahnya bukan lagi miliaran, bukan triliunan, tapi sudah sampai ke angka kuadriliun! Saya sampai harus berhenti sejenak, mengingat-ingat, berapa nol sebenarnya dalam angka itu? Ternyata, bukan hanya rakyat biasa yang kebingungan menghitung, bahkan negara pun seperti tidak tahu ke mana larinya uang sebanyak itu.
Dengan uang sebanyak itu, seakan menjadi jawaban bahwa Indonesia sebenarnya negeri yang kaya raya, semua rakyatnya bisa hidup makmur, kesenjangan Kemiskinan tidak akan tinggi, kalau saja uangnya tidak berpusat di satu tempat, para koruptor yang hobi koleksi tumpukan harta.
Tapi yang lebih membingungkan lagi, mengapa orang yang sudah punya gaji miliaran masih kepikiran untuk korupsi? Mari kita buat hitungan sederhana. Dengan penghasilan miliaran per bulan, seseorang bisa makan makanan paling mahal setiap hari, dari daging wagyu kelas dunia sampai kaviar yang katanya bikin lidah orang bergetar. Tapi perut manusia ukurannya sama saja, kan? Mau makan seberapa banyak pun, kapasitas lambung tetap terbatas.
Lalu mungkin soal rumah? Dengan gaji miliaran, rumah mewah dengan kolam renang, lift pribadi, dan garasi berisi mobil supercar sudah bisa dimiliki. Baju? Sudah bisa beli yang bermerk, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Jalan-jalan ke luar negeri? Bisa kapan saja, tinggal pilih mau menikmati musim gugur di Eropa atau berjemur di Maladewa.
Jadi kalau hidup mewah itu sudah bisa tercapai, kenapa masih kepikiran korupsi? Apakah kekayaan itu seperti penyakit yang semakin dipunya semakin ingin ditumpuk? Sementara di jalanan, ada orang yang sudah sangat bersyukur, jika hari ini bisa membawa pulang sebungkus nasi untuk anak istrinya.
Kesenjangan ini terlalu nyata, tapi anehnya kita seperti sudah kebal. Setiap kali berita korupsi muncul, angka-angkanya semakin fantastis, tetapi efeknya di masyarakat hanya sebatas anggukan pasrah, geleng-geleng kepala, lalu kembali menjalani hidup seperti biasa. Seolah-olah ini sudah menjadi bagian dari sistem, bagian dari takdir bangsa ini.
Mungkin masalahnya bukan pada seberapa kaya negeri ini, tapi pada siapa yang menguasai kekayaan itu. Dan selama sistem masih memberi ruang bagi kerakusan, kita hanya akan terus melihat angka nol yang dikorupsi semakin panjang, sementara rakyat terus menghitung recehan dengan banyaknya tagihan bulanan. (*)