Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
Ciloteh “Catuih Ambuih”
DALAM sebuah kelas filsafat, seorang guru mengajukan sebuah pernyataan yang membuat murid-muridnya berpikir, “Jika seluruh yang ada di dunia ini adalah kehendak Tuhan, maka kejahatan pun terjadi atas kehendak-Nya.”
Banyak murid mengangguk setuju, menerima gagasan bahwa kejahatan adalah bagian dari rencana Ilahi yang tidak terhindarkan. Namun, satu murid menolak pandangan tersebut dan mengajukan pertanyaan, “Apakah dingin itu ada?”
Gurunya menjawab dengan yakin, “Tentu saja dingin ada.”
Murid itu tersenyum dan berkata, “Dingin tidak ada. Yang ada hanyalah ketidakhadiran panas.”
Ia melanjutkan dengan pertanyaan lain, “Apakah gelap itu ada?”
Gurunya menjawab, “Ya, gelap ada.”
Namun, murid itu kembali menjelaskan, “Gelap juga tidak ada. Yang ada adalah ketidakhadiran cahaya. Kita bisa mengukur cahaya, tetapi tidak bisa mengukur gelap.”
Lalu, ia menatap sang guru dan bertanya, “Apakah kejahatan itu ada?”
Sang guru terdiam sejenak.
Murid itu menjawab sendiri pertanyaannya, “Kejahatan itu tidak ada. Yang ada adalah ketidakhadiran Tuhan dalam diri manusia. Ketika seseorang tidak menghadirkan Tuhan dalam dirinya, ia akan mudah melakukan kejahatan.”
Murid itu kelak dikenal sebagai Albert Einstein, salah satu ilmuwan terbesar sepanjang sejarah.
Kehampaan Spiritual dan Kehancuran Moral
Apa yang dapat kita pelajari dari kisah ini? Kejahatan bukanlah entitas yang berdiri sendiri, melainkan kondisi yang muncul akibat hilangnya nilai-nilai ketuhanan dalam diri manusia. Ketika seseorang tidak lagi menghadirkan Tuhan dalam hatinya, ia kehilangan pedoman moral yang membimbingnya menuju kebaikan, kejujuran, dan integritas.
Jika kita menengok kondisi negeri ini, kita melihat bagaimana korupsi, politik uang, dan ketidakadilan merajalela. Para pemimpin yang seharusnya menjadi penjaga keadilan justru terjebak dalam sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok.
Ilmu dan pengetahuan yang mereka miliki tidak lagi menjadi alat untuk membangun peradaban yang bermartabat, melainkan sarana untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan.
Filsuf Yunani, Aristoteles, pernah berkata, “Ketika hukum tidak lagi memberikan keadilan, maka itu bukan negara, melainkan segerombolan perampok yang terorganisir.” Pernyataan ini menjadi sangat relevan ketika kita melihat bagaimana hukum sering kali tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ketika rakyat kecil harus menghadapi hukum dengan segala konsekuensinya, para elite justru bebas bermain-main dengan aturan yang bisa mereka beli dan manipulasi.
Friedrich Nietzsche pernah memperingatkan dunia modern dengan kalimatnya yang terkenal, “Tuhan telah mati, dan kita yang membunuhnya.” Nietzsche tidak berbicara tentang kematian Tuhan secara harfiah, tetapi mengkritik bagaimana manusia modern mulai meninggalkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan mereka. Ketika Tuhan diabaikan, maka moralitas pun kehilangan pijakannya.
Ilmu Tanpa Moral Adalah Bencana
Ilmu dan pengetahuan seharusnya menjadi cahaya yang menerangi jalan peradaban, bukan justru alat untuk memperbesar kegelapan. Immanuel Kant pernah berkata, “Ilmu tanpa moral adalah buta, dan moral tanpa ilmu adalah lumpuh.” Ilmu yang tidak disertai kesadaran moral akan melahirkan orang-orang cerdas yang licik, sementara moralitas tanpa ilmu akan membuat seseorang mudah tertipu dan terjebak dalam dogma.
Maka, solusi untuk negeri ini bukan hanya memperbaiki sistem hukum atau menegakkan aturan, tetapi juga mengembalikan kesadaran ketuhanan dalam setiap aspek kehidupan. Negara yang berdaulat haruslah berdiri di atas fondasi keadilan yang kokoh, diiringi oleh nilai-nilai moral dan spiritual yang hidup dalam setiap pemimpinnya. Sebab, hukum tanpa keadilan adalah tirani, dan kekuasaan tanpa moral hanyalah perampokan yang dilegalkan.
Kini, pertanyaan yang harus kita jawab bersama adalah: Apakah kita masih hidup dalam sebuah negara, ataukah kita telah terjebak dalam segerombolan perampok yang terorganisir? (*)
Padang, 2025.