Oleh: Sadri Ondang Jaya
Di meja perjamuan, mereka berpesta,
sendok berlian menyuapkan kemunafikan,
tangan-tangan gemetar, bukan karena lapar,
melainkan ketakutan kehilangan kuasa.
Gaji besar tiap purnama,
namun mereka tetap mengais,
seperti tikus yang lupa kenyang,
atau perampok yang mengeluh miskin.
Malu telah dikubur tanpa nisan,
diselimuti minyak hitam,
hati mereka legam, sehitam dusta
yang mereka ukir dengan pena emas.
Di panggung rakyat, mereka bersandiwara,
berbicara tentang keadilan
dengan mulut yang masih belepotan kerakusan.
Mereka meminta tepuk tangan,
sementara perut rakyat hanya bergema kosong.
Negeri ini bukan lagi panggung komedi,
melainkan sirkus tanpa batas,
di mana badut-badut berdasi merancang takdir,
dan kelaparan menjadi hiburan utama.
Gaji dan fasilitas membubung setinggi menara dari negara
namun mereka masih mengemis kuasa di balik derita rakyat yang semakin sengsara.
Bagi mereka,
kenyang hanyalah dongeng yang diceritakan kepada rakyat,
bukan untuk mereka telan sendiri. [*]
Hitam Minyak