Penulis: Rosadi Jamani *)
MEGAKORUPSI di tubuh Pertamina masih membara. Terbaru, kerugian negara semula hanya 193,7 triliun, naik menjadi 969,5 triliun. Kalau ini benar, gilaaa…Yok kita kupas lagi para garong uang rakyat.
Langit belum runtuh, tapi angka Rp968,5 triliun ini sudah cukup untuk mengguncang dunia. Bukan gempa, bukan tsunami, tapi skandal paling gila yang pernah terjadi di tubuh Pertamina.
Awalnya kita dikasih angka “kecil”, Rp193,7 triliun. Lalu tiba-tiba, Boom! Angka itu meledak jadi hampir satu kuadriliun. Serius, ini masih hitungan uang atau sudah masuk dimensi angka yang cuma bisa dipahami oleh makhluk intergalaksi?
Rp968,5 triliun, kalau dibagi ke seluruh rakyat Indonesia, satu orang bisa dapat lebih dari Rp3,5 juta. Cukup buat belanja sembako selama puasa, DP beli motor baru, atau modal usaha jual es boba. Tapi tidak, uang itu malah masuk kantong segelintir orang.
Kalau benar-benar terbukti, tak sekadar rakus, tapi sudah layak masuk daftar penjahat keuangan paling biadab dalam sejarah republik. Ini bukan sekadar korupsi. Ini megakorupsi, hiperkorupsi, korupsi stadium empat! Geram rasanya!
Kejaksaan Agung sudah menetapkan sembilan tersangka. Bukan maling ayam, bukan pencuri sendal, tapi orang-orang yang berada di posisi strategis:
Maya Kusmaya – Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga.
Edward Corne – VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Sani Dinar Saifuddin – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional.
Yoki Firnandi – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping.
Agus Purwono – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Muhammad Kerry Andrianto Riza – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Dimas Werhaspati – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.
Gading Ramadhan Joedo – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Nama-nama ini bukan figuran. Mereka ini aktor utama dalam dugaan persekongkolan mega-jahanam yang membuat rakyat membayar mahal untuk bensin oplosan, Pertamax rasa Pertalite. Bahasa kerennya, blending.
Pertamina mati-matian membantah, bilang tak ada pencampuran, tak ada manipulasi. Tapi Kejaksaan Agung punya data, bahan bakar yang seharusnya berkualitas malah dioplos, dijual dengan harga premium, dan rakyat dipaksa membayar lebih untuk sesuatu yang bahkan tidak sesuai standar.
Bayangkan ini, wak! Ente isi Pertamax, bangga karena pakai bensin berkualitas. Lalu mesin motor ente batuk-batuk, tarikannya loyo, bensinnya cepat habis. Kenapa? Karena yang masuk ke tangki mungkin sebenarnya cuma Pertalite bersolek. Tapi harganya tetap Pertamax!
Ini semua terjadi selama bertahun-tahun, dari 2018 hingga 2023. Lima tahun! Lima tahun rakyat membayar bensin yang katanya berkualitas, padahal mungkin dioplos entah dengan apa. Lima tahun subsidi yang harusnya untuk membantu rakyat malah jadi bancakan segelintir orang. Lima tahun kita dikadalin, dikeruk, diperas habis-habisan.
Lalu muncul pertanyaan besar, “Ke mana uang Rp968,5 triliun itu pergi?”
Duit segini, kalau dipakai buat bangun jembatan, kita sudah bisa nyambungin Pulau Jawa ke Kalimantan Barat, terus lanjut ke Sulawesi, bahkan kalau perlu, bikin jalan tol sampai ke Antarktika buat nganterin bahan bakar ke beruang kutub. Tapi tidak, uang itu hilang. Mungkin masuk ke vila-vila mewah, ke rekening di luar negeri, atau mungkin disulap jadi koleksi barang-barang absurd yang kita rakyat jelata bahkan tak bisa membayangkannya.
Di tengah semua ini, nama Prabowo mulai dikaitkan dengan upaya bersih-bersih. Kejaksaan Agung di bawah pemerintahannya terus membongkar kasus ini. Banyak yang mulai berpikir, Mungkinkah ini awal dari perubahan? Mungkinkah akhirnya, para koruptor kelas kakap ini benar-benar akan kena batunya?
Tapi ini Indonesia. Sejarah mengajarkan kita untuk tidak terlalu berharap. Berapa banyak skandal besar yang berakhir dengan hukuman ringan? Berapa banyak uang rakyat yang raib tapi tidak pernah kembali? Berapa banyak kasus yang panas di awal lalu tiba-tiba lenyap seperti embun pagi?
Sementara itu, rakyat tetap antre di SPBU gunakan barcode. Harga pertalite belum naik. Cuma, orang mulai ragu isu Pertamax. Ragu karena isinya Pertalite. Pihak LBH Jakarta sudah membuka laporan. Bila ente merasa dirugikan karena gunakan Pertamax, laporkan.
Satu yang jadi pertanyaan publik, apakah cukup 9 tersangka saja. Di atas mereka masih ada lho. Kalau cuma 9 orang itu, ya nasiblah, mereka hanya korban permainan orang di atasnya yang dapat cuannya jauh lebih banyak. Macam pagar laut, yang kena cuma Pak Lurah Kohod. “Kasihan, orang kecik,” kata budak Pontianak.(*)
#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar