Elza Peldi Taher #


AWAL Februari 2025, Menteri Transportasi Australia Jo Haylen mengundurkan diri setelah ketahuan menggunakan sopir kantor untuk kepentingan pribadi. Haylen meminta sopir kantor mengantar keluarga ke kilang anggur keluarga di akhir pekan. Meskipun tindakannya tidak melanggar aturan, ia mengakui secara etik itu kesalahan dan memilih mundur. 

Di waktu yang hampir bersamaan, Menteri Perdagangan Jepang Isshu Sugawa juga meletakkan jabatan. Kesalahannya? Membagikan melon kepada konstituennya—buah mahal di Jepang yang dianggap sebagai bentuk gratifikasi.

Di Indonesia, peristiwa semacam ini terasa seperti fiksi absurd. Tak masuk logika akal sehat. Masak segitu saja harus mundur. Di negeri ini, jabatan adalah singgasana yang harus dipertahankan mati-matian. 

Pejabat yang telah divonis bersalah oleh pengadilan saja masih bisa bertahan dengan berbagai dalih, apalagi jika sekadar terjerat pelanggaran etik. Pengunduran diri bukan bagian dari kamus kekuasaan. Jabatan bukan sekadar amanah, tetapi benteng kekuasaan yang harus dipertahankan dengan segala cara.

Mengapa budaya mundur dari jabatan tak tumbuh di negeri ini? Ada dua akar persoalan. Pertama, budaya kekuasaan yang melekat pada politik patronase. Jabatan bukan sekadar posisi birokrasi, melainkan hasil konsesi politik. Seorang pejabat bukan hanya bertanggung jawab kepada publik, tetapi juga kepada partai politik dan jejaring yang menopangnya. 

Mundur bukanlah keputusan individu semata, melainkan juga keputusan patron yang punya kepentingan lebih besar dalam melanggengkan kekuasaan. Di balik satu jabatan, ada investasi politik yang harus kembali. Mundur berarti membiarkan investasi itu hangus begitu saja.

Jabatan didapat dengan biaya yang mahal, sebagian ditanggung partai politik dan investor yang berharap keuntungan ketika sang pejabat berkuasa. Kekuasaan bukan sekadar amanah, tetapi juga ladang bisnis yang telah ditanami modal besar. Jika seorang pejabat mundur, investasi yang telah ditanam bisa musnah seperti sawah yang tersapu banjir bandang. Karena itu, jika tersangkut kasus, mereka dan partainya akan mati-matian membela. Apalagi jika hanya sekadar pelanggaran etik—itu hanyalah riak kecil di tengah lautan kepentingan yang lebih besar.

Kedua, jabatan bukan semata-mata soal tanggung jawab publik, melainkan simbol kehormatan diri. Dalam budaya kekuasaan feodal yang masih lestari, jabatan adalah gelar kebangsawanan modern. Pejabat bukan pelayan publik, melainkan orang terhormat. Mundur berarti kehilangan kehormatan, seolah turun kasta dari elite menjadi rakyat jelata. Ini sebabnya, meskipun terseret skandal besar, seorang pejabat akan tetap bertahan, melawan opini publik, bahkan menggugat balik mereka yang mengkritik.

#Penulis
Ketika sebuah negara memiliki sistem yang mengutamakan kepentingan individu dibandingkan kepentingan publik, mundur bukanlah pilihan yang realistis. Tidak ada mekanisme yang memaksa mereka untuk merasa malu, karena standar moral lebih sering ditentukan oleh kepentingan kelompok ketimbang etika politik yang sebenarnya. Transparansi hanya sekadar jargon, sementara akuntabilitas publik kerap kali tenggelam dalam permainan retorika.

Lihatlah bagaimana skandal pagar laut yang merugikan negara tak membuat satu pun pejabat utama mundur. Begitu pula ketika ratusan triliun uang negara dikorupsi oleh pejabat Pertamina, tak ada yang merasa perlu bertanggung jawab. Erick Thohir, orang yang paling bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan negara itu, tetap bergeming. Juga, tak ada yang merasa Erick harus bertangung-jawab. Di negara lain, bukan hanya mengundurkan diri, pejabat semacam ini mungkin sudah duduk di kursi terdakwa.

Budaya mundur hanya tumbuh di negeri yang menempatkan tanggung jawab publik di atas kepentingan pribadi. Selama jabatan masih dipandang sebagai kekuasaan, bukan amanah, kita hanya akan terus melihat pejabat yang bertahan sekuat tenaga, bukan karena ia benar, tetapi karena ia bisa. Selama rakyat hanya bisa mengeluh tanpa daya, budaya ini akan terus mengakar tanpa ujung. (*)


Pondok Cabe Udik 6 Maret 2025




 
Top