Penulis: Ririe Aiko
Puisi Esai 05
SEORANG Disabilitas yang setiap hari berjualan balon sejauh 45 km dengan merangkak di jalanan. Ia tetap giat Bekerja keras, meski dengan kondisinya yang terbatas – (1)
Di jalanan Solo yang bising,
Suara klakson saling bersahutan.
Langkah manusia tergesa, mengejar waktu yang tak pernah menunggu.
Di antara arus itu, Setu tetap melaju
bukan dengan kaki, melainkan tangan yang menyentuh aspal,
menyeret tubuh yang menolak tunduk pada nasib.
Setiap pagi, ia memanggul keranjang tua,
penuh benda ringan yang melambung,
menghiasi udara dengan harapan.
Balon-balon itu, seperti impiannya sendiri
ingin terbang tinggi, melawan angin,
namun tetap terikat pada kenyataan.
Hujan mengguyur, menampar kulitnya yang terbiasa oleh panas.
Aspal licin, jalanan becek, namun ia tak berhenti.
Setiap gerakan tangannya adalah doa,
setiap langkah kecil adalah perjuangan,
untuk anak istri yang menunggu di rumah,
untuk harga diri yang tak bisa dibeli.
—-000—-
Di saat yang sama, di sebuah gedung megah,
Para tikus berdasi duduk di kursi empuk.
Mereka bukan seperti Setu,
tak mengenal debu,
tak tahu rasanya lapar.
Mereka berbicara dengan lidah bercabang,
memutar janji seperti angin puting beliung
berputar, mengguncang, lalu hilang tanpa bekas.
Mereka menumpuk harta dengan tangan kotor,
menjarah yang bukan haknya,
sambil tertawa dalam pesta pora.
Sementara Setu, dengan tangan lemah
hatinya kokoh menjual kejujuran,
Pantang mencuri!
Pantang menjarah yang bukan haknya!
Seseorang pernah bertanya,
“Kau tak lelah?”
Setu menegakkan punggungnya,
menatap lurus tanpa gentar.
“Kelelahan hanya untuk mereka yang menyerah.”
Orang-orang berkata,
“Mengemis saja, orang pasti memberi.”
Ia tersenyum, bukan karena setuju.
“Lebih baik aku merangkak dengan harga diri,(2)
daripada berdiri dengan tangan menengadah.”
Sore itu, seorang bocah kecil berlari mendekat.
“Pak, boleh beli satu?”
Setu mengangguk, menyerahkan balon merah.
Anak itu tertawa, melepasnya ke udara.
Setu menatap ke atas,
melihat warna-warni itu terbang,
melewati atap kota,
melewati batas yang tak terlihat.
Seperti dirinya
meski merangkak, ia tak pernah jatuh.
Meski lelah, ia tak pernah menyerah.
Karena selama ada tangan yang bekerja,
langit tak pernah merendahkan mereka
Yang berjuang dengan kejujuran.(*)
—ooo—
Catatan:
(1)https://www.grid.id/read/041759718/kisah-pak-setu-penjual-balon-disabilitas-yang-harus-merangkak-dengan-tangan-sejauh-45-km-demi-nafkahi-keluarganya
(2) Ia menolak meminta-minta karena percaya bahwa harga diri lebih berarti dari sekeping rupiah. https://medan.tribunnews.com/2019/06/19/kisah-pak-setu-ayah-disabilitas-jualan-balon-jalan-merangkak-sejauh-45-km-demi-nafkahi-keluarganya