Oleh: Mila Muzakkar
Sejumlah siswi SMA di Cianjur, Jawa Barat, diminta melakukan tes urine untuk cek kehamilan oleh pihak sekolah – (1)
Di kelas yang seharusnya menjadi ladang ilmu,
hari ini, sesuatu mati di sana.
kebebasan, harga diri, dan kepercayaan kami, hancur berserakan di lantai dingin,
diinjak-injak tanpa ampun.
Seragam putih abu-abu ini ternoda,
bukan oleh tinta atau kecerobohan,
tapi oleh tangan-tangan mereka yang disebut pendidik.
Satu-persatu, kami dipanggil,
bukan sebagai murid, bukan sebagai pemimpi,
tapi sebagai angka dalam daftar tersangka, seperti buronan yang siap diperiksa.
Di bawah sengatan matahari,
kami berbaris dalam diam,
saling menggenggam tangan yang gemetar.
Mata kami saling bertanya, “Apa yang telah kami lakukan? Mengapa tubuh ini harus dicurigai?”
Di ambang pintu, seorang guru berdiri,
perempuan paruh baya dengan sorot mata dingin.
Sepatu haknya mengetuk lantai seperti palu hakim, seakan vonis sudah dijatuhkan bahkan sebelum kami tahu apa yang terjadi.
“Satu per satu masuk ke dalam,” katanya datar. “Jangan melawan. Ini demi kebaikan kalian.”
Amel, siswi berambut panjang itu, berdiri paling depan, menggigit bibirnya.
Tangannya gemetar, suaranya pecah, tapi keberaniannya tak runtuh: “Bu, kami mau diapakan? Kenapa hanya siswi perempuan yang dikumpulkan?
Guru itu menghela napas, seolah bosan dengan perlawanan. “Ini bukan hukuman, hanya pemeriksaan.”
Amel peserta pertama,
Sekujur tubuhnya dingin,
pipinya menjadi aliran sungai yang tak terbendung.
Seisi ruangan membeku,
angin pun tak berani berbisik.
Kami dibawa ke ruang kosong, dingin, tak berjiwa.
Dinding-dinding beton berdiri tegak, menjadi saksi bisu.
Tubuh kami diperiksa, disentuh tanpa izin, seolah kami hanya lembaran kertas yang bisa dibolak-balik sekenanya.
“Angkat bajumu sedikit,” kata seorang guru, dengan suara yang datar, seolah ini hal yang biasa.
Barisan tubuh-tubuh itu bak patung tak bernyawa,
yang tak punya hak, tak punya perasaan, semua dirampas semaunya.
Siska, seorang siswi berjilbab, terbakar hatinya,
pipinya memerah, bak api yang siap membakar hamparan hutan sawit Kalimantan.
Dengan tangan bergetar, ia memberanikan
diri melawan, “Bu, bukankah Ibu yang bilang, sekolah adalah tempat menimba Ilmu? Tempat kami menggantungkan cita-cita setinggi langit? Mengapa masalah kehamilan juga diurus di sekolah?
Amel, juga ikut meradang.
Ia menjadi singa yang siap menerkam mangsa. “Seandainya anak perempuan Ibu juga dites kehamilan, Ibu akan menerima sebagai kewajaran?”, ucapnya tegas.
Gurunya diam, matanya menghindar, bibirnya bergerak tanpa suara.
Kami menelan air mata yang mendidih di dada.
Adegan ini lebih kejam dari mimpi buruk.
Di luar, semilir angin membawa suara-suara kecurigaan. “Siapa saja yang sedang diperiksa?” “Siapa yang sudah tidak perawan?”
Suara-suara itu tak ubahnya petir di antara terik matahari.
Kami melangkah keluar dengan kepala tertunduk,
bukan karena bersalah,
tapi karena rasa malu yang mereka paksakan.
Amel menatap jendela, berbisik lirih, “Apakah para penguasa melihat ini? Mereka yang duduk di Senayan, mereka yang menyebut dirinya Menteri Pendidikan?
Malam-malam kami tak lagi sunyi.
Dalam mimpi, kami masih dipanggil, diperiksa, seperti bukan manusia seutuhnya.
Di sudut kamar, Amel berbisik pada bayangannya sendiri, “Mungkinkah esok akan lebih adil pada perempuan?
Di koridor sekolah, kenangan tergantung di dinding.
Tak ada yang berbicara,
tapi semua tahu, ada luka yang tak terlihat, yang selamanya menganga.
Saat mentari terbit,
dengan kepala tegak meski langkah berat, kami membawa luka ini, melangkahkan kaki ke gedung-gedung yang membisu itu.
Sebab katanya, di sanalah kami akan dididik menjadi pintar dan sukses.
Nyatanya, sekolah tak ubahnya penjara yang dihuni barisan polisi moral.
Mereka mengajarkan kami bahwa moral tak apa diinjak-injak di depan keramaian,
bahwa perkara hamil adalah urusan perempuan saja, yang terjadi dengan sendirinya, tanpa laki-laki di sana.
Amel menatap langit.
Di sana, ia melihat Ki Hajar Dewantara menangis.
Amel pun menelan ludahnya,
memegang dadanya yang sesak,
dan ikut mengurai air mata bersama Bapak pendidikan itu.(*)
Depok, 21 Februari 2025
Catatan
Puisi Esai ini dibuat dengan bantuan AI
(1)
https://www.detik.com/jabar/berita/d-7747905/tes-kehamilan-siswi-sma-di-cianjur-dprd-jabar-bakal-panggil-kepala-sekolah