Penulis: Rita Mf Jannah
PERNYATAAN terbaru Presiden AS Donald Trump setelah pertemuannya dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah memicu kontroversi.
Trump mengusulkan agar Amerika Serikat mengambil alih Jalur Gaza, merelokasi penduduk Palestina ke negara-negara Arab tetangga seperti Mesir dan Yordania, dan kemudian membangun kembali wilayah tersebut menjadi kawasan yang makmur, yang ia sebut sebagai “Riviera Timur Tengah" (thetimes.co.uk,02/02/2025)
Usulan ini menuai kritik luas karena dianggap mengabaikan hak-hak dasar rakyat Palestina dan berpotensi melanggar hukum internasional terkait pemindahan paksa populasi.
Beberapa pihak menilai bahwa rencana tersebut menunjukkan niat untuk menghapus identitas dan keberadaan rakyat Palestina di Gaza. (huffingtonpost.es, 06/06/2025)
Selain itu, organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International telah menyimpulkan bahwa tindakan Israel di Gaza, termasuk serangan militer yang intensif dan blokade yang berkepanjangan, memenuhi kriteria genosida.
Laporan mereka mendokumentasikan pembunuhan massal, penghancuran infrastruktur vital, dan kondisi kehidupan tidak layak yang secara sistematis ditujukan untuk menghancurkan populasi Palestina di Gaza. (amnesty.org,05/12/2024)
Dengan demikian, pernyataan Trump dan tindakan Israel di Gaza memperkuat pandangan bahwa ada upaya sistematis untuk menghancurkan atau mengusir populasi Palestina dari wilayah tersebut, yang dapat dikategorikan sebagai genosida menurut hukum internasional.
Latar belakang tindakan Israel terhadap Palestina
Israel terus melakukan tindakan keji terhadap warga Palestina karena ada beberapa faktor utama yang melatarbelakanginya, baik dari sisi ideologi, politik, hingga kepentingan ekonomi dan strategi militer.
Ideologi Zionisme dan Rasisme terhadap Palestina
Zionisme, sebagai ideologi pendirian Israel, sejak awal bertujuan untuk mendirikan negara Yahudi di tanah Palestina. Dalam prosesnya, mereka menganggap penduduk asli Palestina sebagai hambatan yang harus disingkirkan.
•Sejak sebelum 1948, gerakan Zionis sudah menggunakan metode kekerasan dan pengusiran untuk menguasai wilayah Palestina.
•Narasi rasis bahwa Palestina adalah “penghalang bagi negara Yahudi” membuat Israel terus menindas mereka agar lemah dan tidak bisa menuntut hak-hak mereka.
Strategi Penguasaan Wilayah (Ekspansi Tanah)
•Israel ingin menguasai sebanyak mungkin tanah Palestina, terutama di Gaza dan Tepi Barat, untuk membangun lebih banyak pemukiman Yahudi ilegal.
•Dengan menghancurkan Gaza dan memaksa warganya keluar, mereka bisa mengklaim wilayah itu sebagai bagian dari Israel secara de facto.
•Tepi Barat juga terus dikolonisasi dengan pembangunan pemukiman, meskipun secara hukum internasional itu ilegal.
Kepentingan Geopolitik dan Dukungan Amerika Serikat
•Israel adalah sekutu utama AS di Timur Tengah dan mendapat bantuan miliaran dolar setiap tahun, termasuk bantuan militer.
•Israel sering bertindak sebagai “basis militer” AS di kawasan, dengan peran strategis dalam menjaga kepentingan Barat, termasuk kontrol terhadap sumber daya dan rute perdagangan.
•Selama Israel tetap menjadi aset bagi AS dan sekutu Barat, mereka akan terus dibiarkan melakukan tindakan brutal terhadap Palestina tanpa konsekuensi serius.
Politik Dalam Negeri Israel
•Pemerintah Israel sering menggunakan konflik dengan Palestina sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan.
•Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, misalnya, sering meningkatkan operasi militer di Gaza atau Tepi Barat saat posisinya terancam oleh krisis politik dalam negeri.
•Banyak partai sayap kanan di Israel mendukung kebijakan keras terhadap Palestina untuk menarik dukungan pemilih ekstremis.
Mencegah Palestina Menjadi Negara yang Kuat
•Israel tidak ingin Palestina menjadi negara yang kuat karena itu akan menjadi ancaman bagi dominasi mereka di kawasan.
•Dengan terus menerapkan blokade di Gaza, menghancurkan infrastruktur, dan mencegah pembangunan ekonomi, Israel memastikan bahwa Palestina tetap lemah dan bergantung pada bantuan luar negeri.
Israel terus melakukan tindakan keji terhadap Palestina bukan karena alasan keamanan semata, tapi karena strategi yang telah dirancang sejak awal: menghapus keberadaan Palestina, menguasai wilayahnya, dan memastikan tidak ada ancaman terhadap dominasi Israel di kawasan.
Selama dunia tidak memberikan tekanan serius, mereka akan terus melakukan kejahatan ini tanpa rasa takut terhadap konsekuensi.
Kekerasan Tepi Barat Meningkat
Saat ini, situasi di lapangan menunjukkan bahwa meskipun ada gencatan senjata di Gaza, kekerasan di Tepi Barat justru meningkat.
Pasukan Israel telah melakukan serangkaian operasi militer di berbagai wilayah Tepi Barat, termasuk Jenin dan Tubas. Dalam operasi tersebut, puluhan warga Palestina dilaporkan tewas (news.detik.com,05/02/2025)
Selain itu, militer Israel telah meledakkan sejumlah bangunan di wilayah utara Tepi Barat, dengan alasan bahwa bangunan tersebut digunakan oleh militan Palestina (liputan6.com,03/02/2025)
Tindakan ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya diplomatik untuk meredakan ketegangan di Gaza, kekerasan dan konflik masih berlanjut di wilayah lain seperti Tepi Barat.
Menghentikan Israel dari menjalankan strategi kejamnya bukan hal yang mudah, karena mereka didukung oleh kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Tapi ada beberapa langkah yang bisa diupayakan oleh dunia, terutama oleh negara-negara yang mendukung Palestina:
1. Tekanan Diplomatik Internasional
• Negara-negara yang mendukung Palestina harus lebih aktif di forum internasional seperti PBB, ASEAN, OKI, dan Uni Afrika untuk mengecam tindakan Israel dan menuntut sanksi.
• Pengakuan negara Palestina oleh lebih banyak negara bisa memperkuat posisi Palestina di level global.
2. Sanksi Ekonomi dan Boikot
• Boikot produk Israel dan perusahaan yang mendukung penjajahan Israel (seperti yang dilakukan gerakan BDS—Boycott, Divestment, Sanctions).
• Negara-negara yang punya hubungan dagang dengan Israel bisa mempertimbangkan sanksi ekonomi atau pemutusan kerja sama.
3. Dukungan Hukum Internasional
• Mendorong Mahkamah Pidana Internasional (ICC) dan Mahkamah Internasional (ICJ) untuk membawa pemimpin Israel ke pengadilan atas kejahatan perang dan genosida.
• Memastikan laporan pelanggaran HAM oleh Israel terus dibawa ke level hukum internasional agar mereka tidak bisa menghindari pertanggungjawaban.
4. Persatuan dan Kekuatan Palestina Sendiri
• Hamas dan Fatah (pemerintahan di Tepi Barat) perlu bersatu agar Palestina punya kepemimpinan yang kuat dalam melawan penjajahan.
• Peningkatan diplomasi Palestina dengan negara-negara yang bisa memberikan bantuan militer, ekonomi, atau politik.
5. Tekanan dari Warga Dunia
• Demonstrasi dan kampanye di berbagai negara untuk meningkatkan kesadaran global dan menekan pemerintah agar tidak mendukung Israel.
• Media sosial bisa menjadi senjata untuk menyebarkan informasi tentang kejahatan Israel, karena propaganda Israel sering mendominasi media mainstream Barat.
Israel hanya bisa dihentikan kalau dunia bersatu dalam menekan mereka, baik secara ekonomi, diplomatik, maupun hukum. Jika dukungan terhadap Israel melemah, mereka tidak akan bisa terus melakukan kejahatan dengan mudah.
Hamas Masuk Jebakan Zionis?
Israel sangat ahli dalam menciptakan situasi yang memancing respons tertentu dari lawannya, lalu menggunakan respons itu sebagai alasan untuk tindakan militer yang lebih besar.
Hamas, sebagai kelompok yang menguasai Gaza, mungkin melihat serangan 7 Oktober sebagai cara untuk menunjukkan perlawanan terhadap pendudukan Israel dan blokade yang telah berlangsung bertahun-tahun.
Tapi Israel menggunakan serangan itu sebagai pembenaran untuk menghancurkan Gaza secara besar-besaran, termasuk infrastruktur sipil dan pemukiman warga.
Jadi, meskipun Hamas yang memulai serangan, Israel tampaknya sudah menunggu momen seperti ini untuk melancarkan respons militer yang ekstrem. Hasil akhirnya adalah kehancuran besar-besaran di Gaza, yang justru menguntungkan Israel karena mereka bisa memanfaatkan situasi ini untuk menekan Palestina lebih jauh, bahkan mungkin memaksakan relokasi permanen.
Sebuah strategi yang sudah berulang kali dilakukan Israel. Mereka selalu menggunakan berbagai alasan, mulai dari “keamanan,” “perdamaian,” hingga “pembangunan,” untuk menutupi niat sebenarnya: memperluas wilayah dan mengusir warga Palestina secara sistematis.
Sejak awal berdirinya Israel, mereka telah menerapkan berbagai bentuk pemindahan paksa, pencaplokan tanah, dan pembangunan pemukiman ilegal.
Mereka sering memanfaatkan momen krisis atau perang untuk mempercepat proses ini, seperti yang terjadi setelah Nakba 1948 dan perang 1967.
Setiap kali ada konflik besar, warga Palestina semakin terdesak, kehilangan tanah, dan hak-hak mereka terus diperkecil.
Sekarang, dengan dalih bahwa Gaza sudah hancur dan warganya perlu direlokasi “sementara,” Israel bisa menciptakan situasi di mana Palestina dipaksa meninggalkan wilayahnya sendiri. Begitu mereka pergi, Israel bisa dengan mudah mengambil alih, membangun pemukiman baru, dan membuat aturan yang mencegah warga Palestina kembali.
Jadi, ini bukan sekadar perang atau konflik biasa, tapi strategi yang sudah dirancang jauh-jauh hari untuk menghapus keberadaan Palestina secara perlahan namun pasti.
Mereka menggunakan narasi “sementara” untuk menciptakan ilusi bahwa warga Palestina masih punya harapan kembali, padahal realitanya, tanah yang mereka tinggalkan selalu diambil alih dan dijadikan pemukiman ilegal oleh Israel.
Taktik seperti ini juga bukan hal baru. Dalam sejarah konflik Israel-Palestina, Israel sering menggunakan dalih keamanan atau pembangunan untuk mengusir warga Palestina dari tanah mereka, kemudian membangun pemukiman Yahudi di sana. Begitu warga Palestina pergi, sulit bagi mereka untuk kembali karena Israel akan menetapkan berbagai aturan hukum dan birokrasi yang menghalangi kepulangan mereka.
Jadi, jika rencana relokasi ini benar-benar dijalankan, kemungkinan besar warga Palestina tidak akan pernah bisa kembali ke Gaza.
Israel akan dengan mudah mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari negara mereka, seperti yang sudah terjadi di banyak wilayah lain.
Ditambah lagi, dengan kehancuran Gaza yang begitu parah akibat serangan militer, membangun kembali kehidupan di sana tanpa dukungan internasional akan sangat sulit bagi Palestina.
Apabila warga Palestina sampai setuju untuk direlokasi, itu justru menjadi kemenangan bagi Israel, karena mereka bisa mengambil alih Gaza tanpa perlu menghadapi perlawanan langsung. Ini memang strategi jangka panjang yang mengarah pada pemusnahan identitas dan hak-hak Palestina secara sistematis. (*)