Puisi Rizal Tanjung


di malam pekat yang menelan cahaya,

aku berteriak, memanggil namamu,

namun gaungnya hanya menghantam dinding bisu,

terpantul kembali ke dadaku yang retak.


engkau adalah luka yang kusayang,

rindu yang tak pernah menjadi temu,

seperti angin yang menyentuh pipiku,

tapi tak bisa kupeluk dalam genggaman.


aku menulis puisi ini dengan air mata,

tintanya darah yang mengalir dari ingatan,

tentang genggaman tangan yang kini hampa,

tentang pelukan yang tinggal bayangan.


kau, yang dulu menjadi rumah,

kini menjelma badai yang menumbangkan atap,

meninggalkan aku dalam kehancuran,

bersama kenangan yang terus menggores luka.


aku menjerit dalam sunyi,

memanggil namamu yang tak lagi mendengar,

mencari jejak yang telah terhapus hujan,

berharap kau kembali, meski hanya sebagai mimpi.


jika cinta ini adalah pedang,

maka aku telah lama tertusuk olehnya,

jika rindu ini adalah lautan,

maka aku telah tenggelam tanpa sisa.


tapi kau pergi,

dan aku tinggal di sini,

berteriak ke dalam kegelapan,

mengemis satu tatapan yang tak akan pernah datang.


cintaku adalah nyala lilin yang kau tiup,

hangatnya kini hanya abu yang beterbangan,

namun di hatiku, kau tetap luka yang kurawat,

rindu yang kian menyakitkan,

cinta yang tak lagi memiliki pulang.


Padang, 7 Februari 2025


 @hatipena



 
Top