Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya


DI BAWAH langit yang biru dan pura di lekuk-lekuk gunung, bukit dan lembah yang indah, Bali menyimpan paradoks yang menyesakkan.

Pulau yang sarat dengan tradisi ini menghadapi kenyataan yang bertolak belakang dengan warisannya.

Di satu sisi, program Keluarga Berencana (KB) dua anak sukses besar, menekan angka fertilitas hingga 1,6 anak per wanita. Di sisi lain, ekses keberhasilan dari selembar piagam yang usang itu seperti pedang bermata dua yang siap menebas tradisi empat anak yang sudah berakar sejak zaman leluhur.

Di desa-desa, saat seorang ayah tersenyum mendengar suara tangisan pertama bayinya, para tetangga pun datang, bertanya, “Paling napi oka ne, Pak?” Nomor berapa anaknya, Pak? “Paling wayan”, artinya anak pertama. Atau bilang dijawab, “paling made” artinya anak kedua.

Begitulah cara Bali memberi nama: Wayan untuk yang sulung, Made untuk yang kedua, Nyoman untuk yang ketiga, dan Ketut untuk yang bungsu.

Namun kini, jawaban “paling nyoman atau paling ketut” semakin jarang terdengar karena sukses dua anak. Jika hanya dua anak, kapan ada jawaban; paling Nyoman, atau paling buntut yang disebut paling Ketut?

Negara lewat program KB telah menghilangkan Nyoman dan Ketut, akhirnya negara pula lah memberikan secercah harapan Nyoman dan Ketut kembali.

Gubernur Wayan Koster sungguh sangat jeli melihat ancaman itu. Lewat kebijakan visionernya, Gubernur Koster menghidupkan harapan kembalinya tradisi 4 anak lewat rencana insentif yang bakal diberikan bagi keluarga yang berani melahirkan Nyoman dan Ketut.

Negara hadir lewat kebijakan Koster bukan untuk mendukung pertumbuhan populasi, melainkan untuk menyelamatkan budaya dan tradisi yang hampir tersisih oleh angka-angka statistik. Nyoman dan Ketut yang hampir “mati” penting dihidupkan kembali. Ia nyaris punah karena ekses dari kesuksesan Bali ber-KB.

Paradoks lain mengintai di balik data. Fertilitas rendah seharusnya menekan jumlah penduduk, tapi kenyataannya Bali justru penduduknya makin padat.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Bali pada tahun 2022 4,29 juta jiwa, dan tahun 2024 meningkat menjadi 4,43 juta jiwa. Ini menunjukkan pertumbuhan penduduk Bali sekitar 3,2 persen dalam dua tahun.

Migrasi besar-besaran membuat jumlah penduduk meningkat signifikan. Jalanan penuh kendaraan, keluhan macet menjadi hal biasa, sampah yang menumpuk sering menjadi pandangan yang tak asing, sawah beralih menjadi vila dan hotel, sementara warga asli makin tersisih di tanahnya sendiri menjadi cerita yang tak berkesudahan.

Di perbatasan antara tradisi dan modernitas, lewat tokoh-tokohnya yang peduli, Bali tak berhenti, Bali kini berani melawan, bukan untuk menentang, tapi untuk terus berjuang menemukan keseimbangan, berjuang untuk ajegnya Bali.

Apakah dengan menyelamatkan Nyoman dan Ketut, kita juga menyelamatkan masa depan Bali? Pertanyaan yang harus terus menggelantung pada kepekaan masyarakat Bali. Ataukah ini hanyalah upaya melawan arus takdir yang terus berubah?

Yang pasti, di pulau para dewa ini, kehidupan selalu berputar dalam siklus yang penuh paradoks.(*)


Denpasar, 16 Februari 2025


@hatipena


 
Top