Cerpen Rusmin Sopian *)
CAHAYA matahari pagi menggeliat. Sinarnya tak sepenuh hati menerangi semesta .Ada rasa enggan yang menyelinap dalam cahaya terangnya.
Lalu lalang kendaraan roda dua dan empat mulai meramaikan jalanan. Debu dan suara knalpot saling berkejaran. Penuhi jalanan kehidupan. Derap langkah para petani menghiasi jalan setapak menuju lahan kehidupan.
Anak-anak masa depan bangsa mulai berhamburan meninggalkan rumah kedamaian menuju rumah pengetahuan. Para pemikul beban hidup keluarga pun berseliweran menuju tempat mengais rezeki.
Sementara itu, di sebuah rumah mewah dengan arsitektur terkini, seorang lelaki setengah baya sedang asyik membaca koran lokal. Dahinya berkerut. Sesekali wajahnya tampak memerah.
Dan tiba-tiba, koran yang dibacanya langsung dihempaskan di meja.
“Sial. Belum tahu siapa aku,” umpat lelaki yang dikenal dengan julukan Pak Besar.
Dalam hitungan detik, diraihnya sebuah handphone merek terkini. Beberapa digit nomor terpencet.
Tut…tut…tut…
Tersambung.
“Selamat pagi. Dengan Surat Kabar Mingguan Kabar Burung. Ada yang bisa dibantu? ,” sapa seorang wanita di ujung telepon dengan suara lembut.
“Saya Pak Besar. Bisa bicara dengan Pak Liluk,” jawabnya dengan suara sangat keras.
“Maaf Pak. Beliau belum di tempat. Ada pesan?” Jelas seorang wanita yang merupakan Sekretaris redaksi Surat Kabar Mingguan Kabar Burung.
“Sampaikan kepada Pak Liluk. Tolong sampaikan bahwa perjanjian hari ini batal. Batal,” kata Pak Besar langsung mematikan telepon.
Mentari mulai meninggi. Cahaya terangnya diatas kepala. Seorang lelaki muda berbalutkan jaket kulit buatan dalam negeri tiba di sebuah gedung kuno peninggalan Belanda.
Sebuah papan nama terpampang di depan gedung tua itu.
“Surat Kabar Mingguan Kabar Burung”.
Usai memarkirkan kendaraan roda duanya, lelaki muda itu langsung naik ke lantai dua. Sapaan hai dan apa kabar, dia gemakan ke beberapa orang yang ditemuinya sembari mengembangkan senyumnya yang khas dan menggoda.
Baru saja melepaskan kepenatan dengan merebahkan pantat di kursi, tiba-tiba suara lembut seorang wanita memanggil namanya.
“Bang Remi. Dipanggil Bos. Penting,” ujar wanita itu.
“Sebentar,” jawab lelaki yang muda bernama Remi.
Dengan langkah penuh keterpaksaan, Remi menuju ruangan Pak Liluk yang merupakan pimpinan perusahaan sekaligus pemimpin redaksi Surat Kabar Mingguan Kabar Burung.
Tok…tok.. tangannya mengetuk pintu.
“Bapak memanggil saya,?” tanya Remi saat pintu terbuka.
“Iya. Hari ini headline koran kita jadi perbincangan di mana-mana. Berita yang kamu tulis menggegerkan jagad daerah ini. Banyak tanggapan berdatangan. Ratusan WhatsApp mengalir ke handphone saya,” terang Pak Liluk.
” Itu sebabnya Bapak memanggil saya,” tanya Remi lagi.
” Ya. Buah berita hebat mu membuat semua agenda kantor kita berantakan,” jelas Pak Liluk.
” Berantakan?,” Tanya Remi lagi.
” Iya. Bahkan sangat berantakan. Pak besar, konglomerat terbesar di daerah kita ini membatalkan kerjasamanya dengan koran kita. Jadi skornya satu-satu,” jelas Pak Liluk sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.
“Saya menuliskan berita itu berdasarkan fakta peristiwa dan fakta pendapat. Saya juga melakukan check dan re check. Beragam narasumber yang berkompeten saya hubungi. Bahkan Pak Besar pun saya wawancarai. Kan itu yang selalu bapak ajarkan dan tekankan kepada kami sebagai jurnalis,” jelas Remi.
“Iya. Tulisanmu benar dan akurat. Dan setiap berita ada konsekwensinya. Bagi koran kita ini, yang hidupnya senin-kamis, upaya untuk mendapatkan suntikan dana dari Pak Besar sudah tertutup. Jadi kita harus siap menerima konsekuensinya,” ungkap Pak Liluk.
“Kita kan sudah terbiasa dengan style seperti ini Pak. Jadi kenapa kita harus mengorbankan idealisme kita hanya untuk sesuatu yang belum tentu bermanfaat bagi kehidupan orang ramai,” kata Remi.
Keduanya terdiam. Ruangan pun sunyi. Cecak pun enggan bergerak.
Sudah dua minggu, Remi tak menampakkan batang hidungnya di kantor. Kabarnya pun tak ada. Handphonenya pun sulit dihubungi. Bahkan pesan lewat WhatsApp tak dijawab. Sejuta tanya menggelantung dalam hati rekan sekantornya.
Segudang pertanyaan pun terlintas dalam pikiran sahabat-sahabatnya sesama jurnalis.
Bahkan terlintas dipikiran nakal mereka , jangan-jangan Remi diculik kelompok Pak Besar.
Maklum kelompok Besar dikenal sebagai pengusaha yang tak mengenal etika haram dan halal dalam berbisnis.
Prinsip yang teranut pun sangat tegas dan jelas. Hantam dulu. Urusan belakangan. Kan segala sesuatunya bisa diatur dan diatur. Yang penting pelicinnya besar dan menggoda para pembuat keputusan dan pemegang kekuasaan untuk berpihak dan mengabdi kepada mereka.
Di mata hati rekan-rekannya, Remi adalah jurnalis yang selalu mengedepankan pembelaan terhadap rakyat kecil.
Sebagai seorang pencari berita, dia sangat akrab dengan rakyat kecil yang termarjinalkan, baik secara ekonomi maupun politik.
Tak pelak aksi jurnalis ini kerapkali mengalami benturan dan hadangan. Bukan hanya di lapangan namun dalam lingkungan internal tempatnya mengabdi sebagai pewarta, hadangan dan benturan sering terjadi.
Bahkan terkadang suara sumbang menggema dari rekan-rekan seprofesinya terhadap dirinya yang dianggap sok idealis dan pahlawan kesiangan.
Remi masih ingat saat melakukan investigasi tentang rencana penyulapan lahan persawahan milik masyarakat Desa Ancok Lilot menjadi areal pertambangan oleh perusahaan milik Pak Besar beberapa waktu lalu.
Hamparan sawah membentang luas. Sekumpulan burung terbang meliuk-liuk. Kemudian menyambar batang-batang padi.
Mereka tidak mencuri banyak. Hanya sekadar menyumpal perut saja. Setelah kenyang, sekumpulan burung-burung itu pun terbang tinggi ke angkasa yang luas dan baru kembali esok harinya.
Tidak seperti mereka yang berdasi yang mencuri aspal, semen, bantuan sosial hingga kubah masjid.
Bahkan beras untuk orang miskin pun mereka curi. Mereka mencuri untuk dimakan tujuh turunan. Kontradiksi dengan sekumpulan burung-burung itu.
Kendati sempat ditentang kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat, namun rencana itu tetap berjalan dan berjalan.
Bahkan kalangan birokrat seolah-olah menutup mata, bahkan ada yang mendukung dengan dalih untuk menambah pundi-pundi daerah.
“Kami bingung Pak. Sebagai rakyat kecil kami ini hanya ingin bertahan hidup. Lagi pula nenek moyang kami hidupnya dari bertani dan bersawah dalam berkehidupan,” keluh Pak Dandio saat bertemu Remi.
“Benar Pak. Keahlian kami hanya bertani dan bersawah. Nah kalau sawah kami dijadikan areal pertambangan, kami ini kerja apa? Penambang? Kami ndak paham. Ndak paham,” sambung Mbah Culun.
“Tapi kata bapak-bapak yang di atas, kami ini pembangkang karena menolak pembangunan. Apakah pembangunan harus merugikan rakyat?. Apa memang pembangunan harus mengorbankan rakyat kecil? Duh gusti, gusti. Memang begini toh nasib jadi wong cilik dan orang susah. Selalu tersusahkan dan disusahkan. Paling dihargai saat musim kampanye saja,” sela Pak Bimbang.
Sementara itu petinggi daerah dengan nada tegas menyatakan kehadiran perusahaan Pak Besar berinvestasi di kawasan itu, akan mampu merubah daerah ini menjelma daerah yang berkembang dalam upaya mengeskalasi kesejahteraan masyarakat dan derajat kehidupan rakyat.
“Kita memberi apresiasi yang luar biasa dan tinggi kepada Pak Besar, pengusaha lokal yang siap berjuang demi kesejahteraan rakyat,” jelas petinggi negeri dengan senyum mengembang. Senyum penuh kebahagiaan.
Hal senada juga terlontar dari mulut berbisa Pak Besar.
“Kehadiran kami di sini untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk kepentingan rakyat daerah ini. Hanya itu niat saya. Tidak lebih dan tidak kurang,” ujar Pak Besar dengan intonasi suara penuh senyum kemenangan.
Remi baru saja usai mandi. Ketukan di pintu rumah kontrakannya yang berada di gang sempit, membatalkan niatnya untuk menikmati sarapan yang baru dibelinya.
Pintu depan rumah kontrakannya terbuka. Terlihat wajah Rifo teman sekantornya. Wajahnya dipenuhi senyum, berbalut kegembiraan.
” Masuk, Ndan. Tumben pagi-pagi udah bertamu. Kayaknya ada info terhebat ya,” sapa Remi yang memanggil Rifo dengan sebutan komandan.
“Aku bawa kabar besar dan maha dahsyat untuk kau,” kata Rifo sembari duduk bersila di ruang tamu rumah kontrakan Remi.
” Kabar apa itu? ,” tanya Remi.
” Semalam Pak Besar, konglomerat yang katanya kebal hukum dan kebal segala macam itu ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan,” jelas Rifo.
“Kok bisa ditangkap?, Katanya backing nya orang besar di pusat,” celetuk Remi.
“Ternyata selama ini Pak besar itu melakukan kegiatan yang illegal. Bukan cuma merusak lingkungan tapi juga merusak mental dan moral masyarakat. Bahkan aparat KPK kini terus mengusut keterlibatan petinggi daerah dalam kegiatan Pak Besar,” ungkap Rifo.
“Kalau itu mah, bukan merusak mental dan moral. Tapi merusak kantong Pak Besar,” jawab Remi sekenanya.
Keduanya pun tertawa terbahak-bahak.
Sementara diberbagai surat kabar, berita tentang tertangkap tangannya Pak Besar oleh KPK menjadi headline koran-koran dan media massa.
Langit makin cerah. Secerah wajah Remi. Ingin rasanya dia segera menemui warga Desa untuk mengabarkan tertangkapnya Pak Besar oleh KPK.
Toboali, 7 Februari 2025
*) Penulis adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan.
Cerpennya sering dimuat di media massa lokal dan nasional.
Beberapa buku kumpulan cerpen karya penulis diantaranya Mereka Bilang Ayah ku Koruptor dan Penjaga Makam telah diterbitkan.
Saat ini Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik.
@hatipena