Puisi Kedua dari “Dinding di Tengah Ombak”
Aku masih menikmati keindahan Danau Laut Tawar,
udaranya nyaman, nelayan bebas mencari nafkah.
Saat menikmati kopi pagi,
kudengar berita menggembirakan:
pagar bambu mulai dibongkar.
Dulu, mereka menancapkan bambu,
membentangkan dinding di tengah laut,
bukan sekadar menahan gelombang,
tapi demi keserakahan yang tak berbatas.
Mereka ingin laut menjadi daratan,
memagari ombak, menggenggam air,
seolah lautan tak lagi berhak bernapas,
seolah pantai harus tunduk pada keinginan mereka.
Namun, di balik pancang yang tertanam,
nelayan menatap laut dengan pilu,
jalannya terhalang, perahunya terkurung,
rejekinya terjaring di antara pagar-pagar itu.
Ia bukan hanya melawan ombak,
tetapi juga batas yang dibuat manusia,
seolah laut yang dulu menghidupi,
kini menjadi milik segelintir orang.
Tapi hari ini, pancang-pancang itu tumbang,
bukan oleh amarah laut yang meradang,
bukan pula oleh gelombang yang menggulung,
melainkan oleh suara pemimpin
yang mendengar rintih nelayan kecil.
Penguasa negeri akhirnya sadar,
bahwa laut bukan untuk dikurung,
bahwa pagar hanya menyisakan derita,
bahwa nelayan tak butuh tembok,
melainkan jalan menuju rezekinya.
Dan mereka yang dulu serakah,
yang ingin menggenggam laut dalam genggaman,
biarlah menerima hukuman yang setimpal,
sebab alam tak pernah berdusta,
sebab keadilan tak selamanya bisu.
Kini, laut kembali bernyanyi,
gelombang kembali memeluk pantai,
perahu-perahu lepas dari jerat,
dan kehidupan mengalir tanpa sekat.
Di antara puing-puing dinding yang hancur,
terpancar cahaya harapan bagai lukisan langit;
setiap riak ombak adalah syair abadi,
dan pasir menyimpan rahasia keabadian alam.
Aku tersenyum dalam diam,
bertanya dalam sunyi:
Apakah ini awal kebebasan, atau hanya jeda sebelum batas lain didirikan?
Ya Allah,
bimbing kami agar tak mengulang luka,
agar tak membangun batas
di antara rahmat dan kasih-Mu. (*)
Kalanareh, 1 Februari 2025
@hatipena