Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
DI PERTENGAHAN Januari lalu, tersiar kabar yang mengusik ketulusan umat dalam mebanten.
Rokok banten yang dibeli di pasar-pasar untuk lanjaran—sarana persembahan—ternyata ada yang dalamnya bukan berisi tembakau, melainkan kulit kedelai.
Niat tulus untuk menghaturkan banten menjadi ironi ketika yang dipersembahkan bukanlah sesuatu yang semestinya.
Tak hanya rokok, ternyata ada brem tabuh yang biasa diperjualbelikan untuk tetabuhan pun dipertanyakan. Entah terbuat dari apa, yang jelas tak ada yang berani meminumnya. Brem tabuh itu bukan brem yang layak untuk dikonsumsi, tetapi dijual untuk sarana upacara.
Ada juga permen banten, roti banten, bahkan tumpeng banten dibuat dari nasi yang dicampur lem perekat agar tak mudah hancur. Dibantingpun tumpeng-tumpeng itu tidak hancur.
Di sinilah paradoksnya. Rokok, brem, roti, permen bahkan saur kacang untuk banten, tidak layak untuk dimakan, diminum atau dihisap. Bisa jadi racun dan merusak kesehatan. Itu dipersembahkan. Padahal ada konsep bhuta iya, dewa iya, manusia iya. Dewa dan bhuta pada hakikatnya sama. Mempersembahkan banten untuk bhuta sama mulianya dengan mempersembahkan kepada dewa.
Tetapi, mengapa kualitas yang diberikan berbeda? Mengapa brem yang tak layak minum dipakai untuk tetabuhan? Mengapa rokok yang tak bisa dinyalakan digunakan untuk lanjaran? Mengapa permen, roti, saur kacang, dan tumpeng dibuat sekadarnya sebagai simbol ada tumpeng, tanpa memperhatikan esensi dari apa yang dipersembahkan? Apakah banten hanya formalitas belaka?
Ada dua pandangan yang berkembang di tengah umat. Pertama, banten adalah aturan atau persembahan sehingga apa yang dihaturkan sebagai persembahan haruslah yang terbaik maka yang terbaik itulah yang dilungsur. Maka sembahyang pun disebut maturan, karena memang ada yang dihaturkan. Apa yang dihaturkan adalah yang akan dilungsur dan dinikmati kembali.
Jika buah atau ajengan yang terbaik dipersembahkan, yang didapat pun buah dan ajengan yang terbaik. Yen maturan guling, guling juga dilungsur (surud). Dalam pandanhak ini akan berusaha mempersembahkan yang terbaik, bunga pun cari yang segat, tak mau yang layu, atau bunga yang telah gugur, cari bunga segar yang semerbak sehingga aura kesegaran bunga bisa diperoleh. Yang terbaik yang dihaturkan.
Kedua, ada pandangan bahwa banten adalah simbol. Yang terpenting bukan apa yang dipersembahkan secara fisik, melainkan niatnya. Berniat menghaturkan pejati, maka apa yang menjadi unsur/simbol pejati itulah yang dipenuhi sehingga banten tersebut bernama pejati, begitu juga banten-banten yang lain.
Kedua pandangan itu mensyaratkan sama banten dan sarananya harus sukla (yang belum pernah dipakai/dihaturkan sebelumnya dan dibuat pada tempat yang tidak cuntaka).
Lalu, mana yang dirujuk? Jika tidak ingin terjebak dalam paradoks, maka kebenaran ada pada keseimbangan keduanya. Persembahan haruslah yang terbaik, baik secara simbol maupun materi. Jika simbol yang diutamakan, tetaplah harus layak. Jika materi yang dipersembahkan, tetaplah harus tulus.
Dan di tengah kebingungan umat, di tengah kabut antara simbol dan esensi, sudah saatnya majelis tertinggi agama Hindu hadir. Sudah saatnya ada panduan yang jelas agar umat tidak larut dalam keragu-raguan antara makna persembahan dan simbolisme belaka.
Sebab jika banten kehilangan ketulusannya, kehilangan substansinya, ia tak lagi menjadi persembahan, melainkan formalitas belaka, umat harus menghindari hal ini. Banten jangan sekadar kewajiban tanpa jiwa.
Dan, ini tak kalah paradoksnya, BPOM dan instansi terkait, tampaknya kalah gesit dibandingkan bila jelang lebaran lembaga ini ramai-ramai turun memeriksa bahan-bahan yang dipakai penganan di hari raya itu, atau petugas kesehatan turun memeriksa sapi, kambing dan hewan korban pada saat hari raya korban.
Sekarang ditemukan rokok yang terbuat bukan dari tembakau, brem yang dibuat entah dari bahan apa nyaris tak terdengar ada pemeriksaan.
Atau dupa yang asapnya dihirup setiap hari, tidak ada yang tahu apalah bahan yang dipakai sehat atau tidak, juga buah-buah impor “yang selalu segar” setelah dalam perjalanan jauh dari pulau seberang, bahkan dari belahan dunia yang mana dikirim ke bali, apakah pakai formalin atau bahan kimia yang berbahaya tak pernah juga terdengar ada pemeriksaan, sebagaimana hewan korban yang diperiksa jelang hari raya korban.
Ini di Bali bro, yang menggunakan sarana banten setiap hari. Yang dihadapkan pada ketidaktahuan setiap hari; apa sehat atau tidak. Ketidaktahuan yang akhirnya diterima begitu saja. Sungguh sangat paradoks.
Denpasar, 3 Februari 2025
@hatipena