Oleh: Gunawan Trihantoro
Sekretaris Komunitas Puisi Esai Jateng
Jejak Perempuan di Palagan Nusantara (9)
RASUNA SAID gigih memperjuangkan hak-hak kaum wanita, sekalipun harus dibui. Ia memilih bercerai dengan suaminya karena bisa memberi kebebasan bagi perempuan. [1]
Di tanah Minang, lahirlah nyala, seorang putri dengan suara merdeka. Tak sekadar kata, tak hanya wacana, melainkan gelora yang membakar jiwa.
“Perempuan bukan hiasan rumah, perempuan bukan sekadar ibu yang patuh. Kami bisa berjuang, kami bisa lantang! Kami pun bisa melawan ketidakadilan!”
Dari kecil ia telah bertanya, Mengapa perempuan harus tunduk semata? Mengapa tak boleh berdiri sejajar, menjadi pelita, bukan bayangan samar?
Ayahnya berkata dengan lembut, “Nak, ilmu adalah senjata yang tajam. Baca, pelajari dan bersuaralah! Biar dunia tahu, kita tak bungkam.”
Lalu ke Diniyah ia melangkah, dalam gemuruh syarahan pertama. Suara Rasuna bukan sekadar alun, melainkan gemuruh angin di musim hujan.
“Poligami bukan hukum Tuhan, tapi budaya yang membungkam insan. Wanita bukan benda, bukan properti, melainkan jiwa yang punya kendali!”
Orang-orang terhenyak, terkejut, seorang gadis melawan adat. Di podium, ia seperti singa, mengaum, menentang ketidaksetaraan.
Pena dan pidato menjadi senjata, melawan penjajahan yang menyesakkan dada. Di Medan Ulama, ia berjuang, membela hak, membela kaum yang terbuang.
Kolonial mencapnya pembangkang, menggiringnya ke balik jeruji bui. Namun, suara itu tak bisa padam, seperti nyala lilin di tengah sunyi.
Di balik jeruji, ia menulis, sehelai demi sehelai surat perlawanan. Kata-kata melompat dari kertas, seperti anak panah menuju sasaran.
“Jangan diam, jangan tunduk, sebab keadilan harus diperjuangkan! Jangan biarkan kami dihina, jangan biarkan kami dihapus sejarahnya!”
Setelah bebas, ia tak gentar, sekolah didirikan, ilmu disebarkan. Ia ingin perempuan berdiri tegak, tak hanya di rumah, tapi juga di tanah juang.
Negeri ini pun merdeka akhirnya, tapi perjuangan belumlah reda. Di parlemen, suaranya bergema, menuntut hak, menegakkan cita.
Namun takdir menjemputnya dini, Singa Podium itu pun pergi. Namun namanya tetap di dada bangsa, terukir dalam tinta sejarah merdeka.
“Perjuangan ini belum selesai, selama masih ada yang terbelenggu. Jangan biarkan nyala ini padam, biarkan ia menyala di hatimu!” (*)
Rumah Kayu Cepu, 30 Januari 2025
Catatan:
[1] Puisi esai ini diinspirasi dari kisah Rasuna Said yang di Maninjau, Sumatera Barat, dan dikenal sebagai salah satu orator perempuan paling berpengaruh di zamannya. https://tirto.id/rasuna-said-singa-podium-yang-menentang-poligami.
@hatipena