Cerpen Rizal Tanjung


DI SEBUAH negeri yang katanya demokratis, hiduplah sekelompok raja kecil. Mereka bukan raja dalam dongeng, bukan pula bangsawan yang turun dari silsilah panjang. Mereka adalah orang-orang yang naik takhta lewat kertas suara dan janji-janji manis. Begitu duduk di kursi kekuasaan, mereka lupa siapa yang memilih mereka.

Di pagi yang cerah, seorang raja kecil dari sebuah kota kecil duduk di kursinya yang empuk, menikmati kopi yang diimpor langsung dari negara tetangga. Ia tersenyum puas membaca berita tentang dirinya. “Raja Kecil Menolak Kebijakan Presiden, Anggaran Daerah Tak Bisa Diatur Pusat,” begitu judul yang tertera di layar tabletnya.

“Bagus,” gumamnya. “Biarkan mereka tahu siapa yang berkuasa di sini.”

Di belahan negeri lain, raja kecil lainnya sedang berkeliling kota dengan iring-iringan mobil mewah. Jalanan harus dikosongkan, lampu lalu lintas dihentikan. Rakyat kecil yang hendak menyeberang terpaksa mundur, menunduk pasrah.

“Siapa mereka berani menghalangi raja?” pikirnya.

Sementara itu, di pusat negeri, sang Presiden sedang mengumpulkan para pembantu setianya. Ia berbicara lantang tentang efisiensi anggaran. “Kita harus menghemat! Tidak boleh ada perjalanan dinas ke luar negeri tanpa alasan yang jelas!” katanya.

Para menteri mengangguk-angguk penuh kepura-puraan. Dalam hati, mereka sudah memikirkan cara untuk tetap bisa plesiran ke luar negeri dengan dalih studi banding.

Seorang menteri berbisik kepada rekannya, “Mungkin kita bisa mengganti istilahnya. Bukan ‘studi banding’, tapi ‘kunjungan diplomatik’.”

Yang lain menimpali, “Atau kita sebut saja ‘penelitian lapangan’ tentang kemiskinan di Swiss.”

Mereka tertawa pelan, sambil meneguk anggur mahal yang dibeli dari anggaran negara.

Di sudut lain istana, sekelompok pejabat tengah berdiskusi serius tentang proyek besar yang bermasalah. Sebuah perusahaan swasta raksasa baru saja kehilangan izin, dan kini sedang mencari cara untuk memastikan mereka tidak merugi.

“Kita tak mungkin membangun tanpa izin,” kata seorang petinggi perusahaan, suaranya penuh kepastian.

“Tentu saja,” jawab seorang pejabat tinggi, sambil menyelipkan amplop tebal ke dalam saku jasnya. “Kami akan cari solusi. Yang penting, jangan sampai ada kegaduhan.”

Tapi kegaduhan sudah terjadi. Di pinggiran kota, rakyat kecil mulai gelisah. Harga kebutuhan pokok naik, gas elpiji 3 kg langka, sementara pejabat sibuk berdebat siapa yang harus disalahkan.

Di televisi, seorang menteri muncul dengan wajah serius. “Kebijakan ini untuk kepentingan rakyat,” katanya.

Tapi rakyat yang antre berjam-jam untuk mendapatkan gas murah mulai bertanya-tanya, rakyat yang mana yang dimaksud?

Di sebuah rapat kabinet, Presiden mulai gerah. “Sudah saatnya kita reshuffle!” katanya.

Para pembantu dan raja kecil yang mendengar itu mulai panik. Mereka mulai menyusun strategi.

“Saya harus segera dekat dengan istana,” pikir seorang menteri.

“Aku akan menggalang dukungan dari partai,” pikir seorang gubernur.

“Tidak perlu khawatir,” bisik seorang pejabat yang lebih berpengalaman. “Ini hanya gertakan. Kita sudah kebal reshuffle.”

Sementara itu, di luar istana, rakyat hanya bisa menonton drama kekuasaan ini seperti sinetron yang tak berkesudahan. Mereka tak bisa memilih jalannya cerita, tak bisa menentukan akhir yang lebih baik.

Di negeri demokrasi yang katanya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, ternyata rakyat hanyalah figuran. (*)


Padang, 10 Februari 2025. 


@hatipena


 

 
Top