Muhammad Afnizal *)


KEMUNCULAN ‘Artificial Intelligence’ (AI) alias kecerdasan buatan, telah membuat perubahan yang sangat besar. Perubahan dimaksud, terjadi dalam berbagai lini kehidupan masyarakat dewasa kini, termasuk pendidikan.

Diakui, AI ini banyak membawa manfaat untuk membantu pekerjaan, memudahkan kinerja. Pemanfaatan kecerdasan buatan pun dapat diselewengkan untuk ‘menggantikan’ kita supaya terlihat bekerja.

Institut Public de Sondage d’Opinion Secteur (Ipsos), adalah perusahaan riset pasar dan konsultasi multinasional. Pada Mei 2023, menyurvei penilaian optimistis masyarakat dunia terhadap AI. Indonesia memuncaki sebagai negara yang paling setuju, bahwa AI membawa lebih banyak manfaat dibanding kerugian.

Tingkat optimistis masyarakat Indonesia, adalah 78 persen. Diikuti Thailand (74 persen), Meksiko (73 persen), Malaysia (69 persen), dan Peru (67 persen). Di sisi lain, Amerika Serikat dan Prancis menjadi negara dengan tingkat optimisme paling rendah terhadap AI. Hanya 37 persen responden yang menilai bahwa kecerdasan buatan justru membawa kebaikan lebih banyak ketimbang kerugian.

Secara usia, generasi Z (Gen-Z) menjadi kelompok yang paling optimistis dengan kebermanfaatan AI secara global pada angka 62 persen. Data tersebut bukan tidak berdasar, analisis dapat diye haklan. Bahwa negara dengan perkembangan teknologi sangat maju, justru menjadi yang paling pesimistis terhadap perkembangan kecerdasan buatan.

Kelompok usia yang lebih dewasa, menilai bahwa AI justru dapat lebih merugikan. Dibandingkan dengan kelompok usia Gen-Z yang umumnya belum terlalu bijak dalam mengambil kesimpulan dan memaknai filosofi hidup.

Beberapa waktu yang lalu, Gen-Z di Amerika Serikat beramai-ramai beralih dari penggunaan smartphone ke phone selfitur atau handphone jadul. Alasan mereka, untuk meminimalisir kecanduan, depresi, serta memaksimalkan interaksi sosial di kehidupan nyata dibanding dunia maya. Kecerdasan buatan dan kecanggihan teknologi, telah membuat banyak negara maju malah menjadi ‘puyeng’ dan mengeluarkan sejumlah kebijakan.

Persinggungan dan benturan antara sisi manusiawi dengan robotik, membuat pemerintah Jepang menggagas Society 5.0 misalnya. Dengan menitikberatkan perkembangan masyarakat yang berpusat pada manusia, lebih memanusiawikan manusia. Menyeimbangkan penyelesaian masalah sosial dan kemajuan ekonomi dengan sistem yang saling berinteraksi antara ruang siber dan fisik.

Di negara kita, tahapan revolusi industri diupayakan sukses pada era revolusi Industri 4.0, era digitalisasi dan kecerdasan buatan atau AI. Negara maju seperti Jepang, sudah pada tahapan kegelisahan akibat efek buruk AI. Pemanfaatan yang justru menyisakan sejumlah kerugian dan keguncangan struktur tatanan hidup humanis (Society 5.0).

Ibarat Pisau Bermata Dua

Sama sekali bukan bermaksud skeptis, bahwa AI harus ditinggalkan sama sekali. Justru sebaliknya, kita percaya bahwa AI harus terus dipelajari, dikembangkan dan tumbuh berdampingan dengan masyarakat. Kemunduran masyarakat kita dalam mempelajari AI justru akan membuat negara kita terpuruk, menjadi terbelakang.

Harapannya, guru dan siswa kita sebagai agen aktif dunia pendidikan punya semangat tinggi dalam memanfaatkan AI.

Kenyataannya, banyak contoh pemanfaatan AI justru akan merendahkan sisi moralitas. Guru memanfaatkan AI membuat soal ujian sekejap mata. Bahkan terkadang merenung atau menelaah soal tersebut pun tidak lagi. Ironisnya, guru tersebut malah tidak tahu jawaban dari soal yang diberikan kepada siswa. Tidak bermaksud merendahkan guru, karena saya juga guru. Namun oknum guru semacam ini banyak terdapat di sekolah kita.

Ibarat pepatah, guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Siswa akan memanfaatkan AI untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, betapa banyak pekerjaan rumah, ujian, skripsi, tesis, disertasi yang bisa diselesaikan dengan bantuan AI, copy paste, dan plagiat.

Siswa yang dibelikan gawai, awalnya alasan belajar, mengakses kecanggihan teknologi dan AI. Faktanya malah semakin candu dengan game online dan-drama Korea.

Guru yang seharusnya memanfaatkan AI dengan smartphone mereka ketika mengakses Wi-Fi sekolah. Untuk memudahkan mereka mengajar, mendidik putra putri bangsa. Membawa arah pendidikan kepada ranah yang lebih baik.

Kenyataannya, justru sibuk menyebarkan hoaks baik disengaja, maupun tidak. Menonton YouTube untuk membela/mencaci capres tertentu, menyaksikan joget di tiktok, serta beragam aplikasi minim faedah lainnya pada jam kerja di sekolah.

Islam adalah agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan. Kehadiran AI yang memudahkan sejumlah pekerjaan tidaklah ditolak, diterima namun dengan catatan tetap dalam koridor kepantasan dan kebenaran. Yang dilarang, justru segala bentuk kecurangan, manipulatif, dan upaya merugikan diri sendiri dan orang lain dalam memanfaatkan AI.

Kecerdasan buatan sangat perlu dipelajari. Sebagai ilustrasi, perang di dunia saat ini bukan lagi menitikberatkan pada perang gerilya, bersembunyi di hutan. Melainkan perang teknologi dan kecanggihan AI. Robotik, nuklir dan kecanggihan satelit militer. Rakyat kita, bangsa kita bisa diluluhlantakkan hanya sekali ‘pencet’ tombol nuklir dari jarak jauh.

Negara mayoritas penduduk muslim banyak yang menjadi korban perang, salah satu penyebabnya adalah penguasaan teknologi dan kecerdasan buatan rendah. Demikian juga pendidikan, banyak yang terbelakang akibat tidak cakap dalam menguasai teknologi yang berisi Kecerdasan buatan di dalamnya.

Instan dan Keberkahan

Memanfaatkan AI, sejatinya tidak cukup juga pada ranah ‘asal’ untuk keperluan pembelajaran. Guru dan siswa, memikul tanggung jawab besar dalam menggapai keberkahan ilmu pengetahuan.

Bukan sekadar melaksanakan tanggung jawab mengajar dan belajar. Ilmu yang bermanfaat bukan sekadar dibagikan dan dihafalkan, namun yang menjadi berkah bagi pemiliknya. Instan dengan AI harus diwaspadai, jika tidak, malah mengurangi makna pembelajaran itu sendiri.

Sebagai contoh, sekelas Imam Bukhari saja menulis shahih, Bukharinya hingga 16 tahun lamanya. Beliau setiap akan menulis sebuah hadist di dalamnya melalui proses berwudhu, shalat istikharah dan berkontemplasi untuk merenung dan memastikan keshahihan haditsnya.

Cuplikan kisah tersebut bukan hanya terjadi pada diri Imam Bukhari, namun juga terjadi pada diri kebanyakan ulama lainnya dalam menulis kitab mereka. Hasilnya, keberkahan dan kebermanfaatan terasa hingga ratusan tahun lamanya.

Maunya kita instan, mudah, hingga celakanya kalau bisa tidak bekerja lagi biar AI yang menyelesaikan semua pekerjaan kita. Tidak ada proses instan yang baik, terlebih untuk proses pembelajaran yang kompleks serta mencari nilai keberkahan di dalamnya. Guru banyak memanfaatkan AI, namun ruh pembelajaran telah terkikis.

Zaman dulu menulis di atas batu, dengan menggunakan sabat dan grip. Segera setelah ditulis, terhafal, terekam, diingatan.

Buku zaman dulu nyatanya terasa lebih banyak dijadikan rujukan hingga sekarang ini dalam berbagai kajian literatur. Zaman kini, buku dan tulisan ilmiah yang dibuat dengan AI, bertumpuk di perpustakaan dan seolah hilang berkahnya.

Harapan kita, AI dipelajari oleh guru dan siswa. Beriringan dengan bertumbuhnya budi luhur pada diri guru dan siswa. 


*) Muhammad Afnizal adalah alumnus Sosiologi USK dan Magister Sosiologi USU, sekarang bertugas sebagai guru Sosiologi MAN 1 Aceh Timur

@hatipena 




 
Top